BAB SEPULUH
Kelompok Sepuluh
182.
Manfaat-manfaat Perilaku Bermoral
Pada suatu
ketika Yang Terberkahi berdiam di Savatthi di Hutan Jeta di Vihara
Anathapindika. Pada waktu itu Y.M. Ananda menghampiri Yang Terberkahi, memberi
hormat kepada Beliau dan bertanya:1
“Bhante,
apakah manfaat perilaku bermoral, dan apakah perolehannya?”
“Tidak
adanya penyesalan, Ananda, adalah manfaat dan perolehan perilaku bermoral.”
“Dan,
Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari tidak adanya penyesalan?”
“Kegembiraan,
Ananda.”
“Dan,
Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari kegembiraan?”
“Sukacita.”
“Dan,
Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari sukacita?”
“Ketenangan.”"Dan,
Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari ketenangan?”
“Kebahagiaan.”
“Dan,
Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari kebahagiaan?”
“Konsentrasi
pikiran.”
“Dan,
Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari konsentrasi?”
“Pengetahuan
dan pandangan akan hal-hal seperti apa adanya.”
“Dan,
Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari pengetahuan dan pandangan akan hal-hal
seperti apa adanya?”
“Rasa
muak dan hilangnya nafsu.”
“Dan,
Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari rasa muak dan hilangnya nafsu?”
“Pengetahuan
dan pandangan akan pembebasan.”
“Demikianlah,
Ananda, perilaku bermoral memberikan tidak adanya penyesalan sebagai manfaat
dan perolehannya; tdak adanya penyesalan memberikan kegembiraan sebagai manfaat
dan perolehannya; kegembiraan memberikan sukacita sebagai manfaat dan
perolehannya; sukacita memberikan ketenangan sebagai manfaat dan perolehannya;
ketenangan memberikan kebahagiaan sebagai manfaat dan perolehannya; kebahagiaan
memberikan konsentrasi sebagai manfaat dan perolehannya; konsentrasi memberikan
pengetahuan dan pandangan akan hal-hal seperti apa adanya sebagai manfaat dan
perolehannya; pengetahuan dan pandangan akan hal-hal seperti apa adanya
memberikan rasa muak dan hilangnya nafsu sebagai manfaat dan perolehannya; rasa
muak dan hilangnya nafsu memberikan pengetahuan dan pandangan akan pembebasan
sebagai manfaat dan perolehannya. Dengan demikian Ananda, perilaku bermoral
membawa kita selangkah demi selangkah menuju yang tertinggi.”
(X, 1)
183.
Keabsahan Kemajuan
Bagi orang
yang bermoral dan memiliki kemoralan, tidak perlu ada tindakan dengan
keinginan: “Semoga tidak ada penyesalan yang muncul di dalam diriku.” Sudah
merupakan hukum alam, para bhikkhu, bahwa tidak akan ada penyesalan yang
muncul di dalam diri orang yang bermoral.
Bagi orang
yang bebas dari penyesalan, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga
kegembiraan muncul di dalam diriku!” Sudah merupakan hukum alam bahwa kegembiraan
akan muncul di dalam diri orang yang bebas dari penyesalan.
Bagi orang
yang gembira di dalam hati, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga
sukacita muncul di dalam diriku!” Sudah merupakan hukum alam bahwa sukacita
akan muncul di dalam diri orang yang gembira di dalam hati.Bagi orang yang
bersukacita, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga tubuhku
tenang!” Sudah merupakan hukum alam bahwa tubuh akan tenang bila orang
bersukacita.
Bagi orang
yang tubuhnya tenang, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga aku
merasakan kebahagiaan!” Sudah merupakan hukum alam bahwa orang yang tenang
akan merasakan kebahagiaan.
Bagi orang
yang bahagia, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga pikiranku
terkonsentrasi!” Sudah merupakan hukum alam bagi orang yang bahagia bahwa pikirannya
akan terkonsentrasi.
Bagi orang
yang memiliki konsentrasi, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: “Semoga
aku mengetahui dan melihat hal-hal seperti apa adanya!” Sudah merupakan hukum
alam bagi orang yang pikirannya terkonsentrasi untuk mengetahui dan melihat
hal-hal seperti apa adanya.
Bagi orang
yang mengetahui dan melihat hal-hal seperti apa adanya, tidak perlu ada
tindakan dengan keinginan: “Semoga aku mengalami rasa muak dan hilangnya
nafsu!” Sudah merupakan hukum alam bagi orang yang mengetahui dan melihat
hal-hal seperti apa adanya untuk mengalami rasa muak dan hilangnya nafsu.
Bagi orang
yang mengalami rasa muak dan hilangnya nafsu, tidak perlu ada tindakan dengan
keinginan: “Semoga aku merealisasikan pengetahuan dan pandangan akan
pembebasan!” Sudah merupakan hukum alam bagi orang yang mengalami rasa muak dan
hilangnya nafsu untuk merealisasikan pengetahuan dan pandangan akan
pembebasan.
Demikianlah,
para bhikkhu, rasa muak dan hilangnya nafsu memberikan pengetahuan dan
pandangan akan pembebasan sebagai manfaat dan perolehannya … (berlanjut sama
seperti bagian atas, kembali ke) … perilaku bermoral memberikan tidak
adanya penyesalan sebagai manfaat dan perolehannya.
Demikianlah,
para bhikkhu, kualitas-kualitas sebelumnya mengalir ke dalam kualitas-kualitas
berikutnya; kualitas-kualitas berikutnya membawa kualitas-kualitas sebelumnya
menuju kesempurnaan, untuk pergi dari pantai sebelah sini ke pantai seberang.2
(X, 6)
184.
Pengalaman Meditatif tentang Nibbana – I
Pada suatu
ketika Y.M. Ananda menghampiri Yang Terberkahi dan bertanya:
“Dapatkah,
Bhante, seorang bhikkhu mencapai tingkat konsentrasi pikiran yang sedemikian
sehingga di bumi, dia tidak mencerap bumi, di air dia tidak mencerap air,
demikian juga di api … udara … landasan ruang tanpa-batas … landasan kesadaran
tanpa-batas … landasan ketiadaan … landasan
bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi dia tidak mencerap semua ini; dan tidak
pula dia mencerap dunia ini atau dunia sesudahnya tetapi walaupun demikian
tetap saja dia mencerap?”3
“Ya, Ananda,
dapat tercapai tingkat konsentrasi pikiran yang sedemikian itu sehingga di bumi
seorang bhikkhu tidak mencerap bumi … tidak pula dia mencerap dunia ini atau
dunia sesudahnya tetapi walaupun demikian tetap saja dia mencerap.”
“Tetapi
bagaimana, Bhante, seorang bhikkhu dapat mencapai tingkat konsentrasi pikiran
seperti itu?”
“Di sini,
Ananda, bhikkhu itu menyadari dan merasakan demikian ini: ‘Inilah kedamaian,
inilah yang luar biasa, yaitu berhentinya semua bentukan, lepasnya semua
perolehan, hancurnya keserakahan, hilangnya nafsu, berhenti, Nibbana.’ Dengan
cara inilah, Ananda, bhikkhu itu bisa mencapai tingkat konsentrasi pikiran
seperti itu.”4
(X, 6)
185. Pengalaman
Meditatif tentang Nibbana – II
Pada suatu
ketika Y.M. Ananda menghampiri Y.M. Sariputta dan bertanya:
“Sahabat
Sariputta, dapatkah seorang bhikkhu mencapai tingkat konsentrasi pikiran yang
sedemikian sehingga di bumi dia tidak mencerap bumi … (seperti di atas)
… tidak pula dia mencerap dunia ini atau dunia sesudahnya – tetapi walaupun
demikian tetap saja dia mencerap?”
“Ya, sahabat
Ananda, tingkat konsentrasi pikiran seperti itu dapat dicapai.”
“Tetapi,
sahabat Sariputta, bagaimana seorang bhikkhu dapat mencapai tingkat konsentrasi
pikiran seperti itu?”
“Sahabat
Ananda, dahulu aku pernah tinggal di sini, di Savatthi, di Hutan Gelap. Di situ
aku mencapai tingkat konsentrasi pikiran yang sedemikian sehingga di bumi aku
tidak mencerap bumi… (seperti di atas) … tidak pula aku mencerap dunia
ini atau dunia sesudahnya – tetapi walaupun demikian tetap saja aku mencerap.”
“Tetapi pada
waktu itu apa yang dicerap oleh Y.M. Sariputta?”
“‘Nibbana
adalah berhentinya dumadi, Nibbana adalah berhentinya dumadi’5 – satu
persepsi seperti itu muncul di dalam diriku dan persepsi seperti itu lainnya
lenyap. Sama halnya, Sahabat Ananda, seperti dari api korek api satu nyala
muncul dan satu nyala lainnya lenyap, demikian pula, ‘Nibbana adalah
berhentinya dumadi, Nibbana adalah berhentinya dumadi’ satu persepsi seperti
itu muncul di dalam diriku dan persepsi seperti itu lainnya lenyap. Pada saat
itu, sahabat, aku mencerap bahwa Nibbana adalah berhentinya dumadi.”
(X, 7)
186. Pujian
terhadap Ketekunan
Para
bhikkhu, di antara semua makhluk hidup – baik yang tak-berkaki atau berkaki
dua, dengan empat kaki atau berkaki banyak, yang berbentuk maupun tanpa-bentuk,
yang berpencerapan, tanpa-pencerapan atau
tidak-berpencerapan-pun-tidak-tanpa-pencerapan – Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang
Sepenuhnya Tercerahkan, dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya.6
Demikian pula, apa pun keadaan-keadaan bajik yang ada, semuanya berakar pada
ketekunan, menyatu pada ketekunan, dan ketekunan dianggap sebagai yang terbaik
dari semuanya.
Sama seperti
jejak kaki semua makhluk hidup yang bergerak dapat masuk ke dalam jejak kaki
gajah, dan jejak kaki gajah dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya, yaitu
karena besarnya jejak kaki gajah, demikian pula apa pun keadaan-keadaan bajik
yang ada, semuanya berakar pada ketekunan.
Sama seperti
semua tiang penyangga atap runcing mengarah ke ujung atap, menanjak ke ujung
atap, menyatu ke ujung atap, dan ujung atap itu dianggap sebagai yang terbaik
dari semuanya …. Sama seperti, dari semua akar wangi, akar bergetah hitam
dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya …. Sama seperti, dari semua kayu
wangi, kayu cendana merah dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya …. Sama
seperti, dari semua bunga wangi, melati dianggap sebagai yang terbaik dari
semuanya…. Sama seperti semua pangeran kecil merupakan pengikut penguasa dunia,
dan penguasa dunia dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya7 ….
Sama seperti sinar semua bintang tidak ada seperenambelas bagian sinar
rembulan, dan sinar rembulan dianggap sebagai yang terbaik dari semuanya ….
Sama seperti di musim gugur, ketika langit bersih tak berawan, matahari
bersinar di atas cakrawala, menghapus semua kegelapan di langit pada saat
matahari bersinar, bercahaya dan memancar …. Sama seperti sungai besar yang ada
– Sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu, Mahi – semuanya menuju samudera,
melandai, meluncur dan mengarah ke samudera, dan samudera dianggap sebagai yang
terbaik dari semuanya, demikian pula apa pun keadaan bajik yang ada,
semuanya berakar pada ketekunan, menyatu pada ketekunan, dan ketekunan dianggap
sebagai yang terbaik dari semuanya.
(X, 15)
187. Sepuluh
Kediaman yang Mulia
Pada suatu
ketika Yang Terberkahi tinggal di antara orang-orang Kuru. Di situ ada sebuah
kota Kuru bernama Kammasadamma. Di sana Yang Terberkahi berkata kepada para
bhikkhu demikian:
“O para
bhikkhu, ada sepuluh kediaman mulia. Di situlah para mulia telah tinggal di
masa lampau, di situlah mereka tinggal di masa kini, dan di situlah mereka akan
tinggal di masa mendatang. Apakah yang sepuluh itu? Di sini, para bhikkhu,
seorang bhikkhu telah meninggalkan lima faktor, memiliki enam faktor, memiliki
satu penjaga tunggal, memiliki empat pendukung, telah menghalau banyak
kebenaran yang terpisah-pisah, telah berhenti mencari, telah menjernihkan pemikirannya,
telah menenangkan bentukan tubuh, serta telah terbebas di dalam pikiran dan
telah terbebas oleh kebijaksanaan.
(1) “Dan
bagaimana seorang bhikkhu telah meninggalkan lima faktor? Di sini, para
bhikkhu, seorang bhikkhu telah meninggalkan nafsu indera, niat jahat, kemalasan
dan kelambanan, kegelisahan dan kecemasan, serta keraguan. Demikianlah dia
telah meninggalkan lima faktor.
(2) “Dan
bagaimana seorang bhikkhu memiliki enam faktor? Di sini, para bhikkhu,
setelah melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menjadi senang
ataupun sedih, melainkan hidup tenang seimbang, waspada dan memahami dengan
jelas. Dan demikian pula ketika dia mendengar suara dengan telinga, mencium bau
dengan hidung, mencerap rasa dengan lidah, menyentuh benda dengan tubuhnya,
atau mengenali objek pikiran dengan pikiran. Dengan cara inilah dia memiliki
enam faktor.
(3) “Dan
bagaimana seorang bhikkhu memiliki seorang penjaga tunggal? Di sini,
para bhikkhu, seorang bhikkhu memiliki pikiran yang dijaga oleh kewaspadaan.
Dengan cara inilah dia memiliki seorang penjaga tunggal.
(4) “Dan
bagaimana seorang bhikkhu memiliki empat pendukung? Di sini, para
bhikkhu, seorang bhikkhu menggunakan beberapa hal setelah perenungan,
menanggung beberapa hal setelah perenungan, menghindari beberapa hal setelah
perenungan, dan menghalau beberapa hal setelah perenungan. Dengan cara inilah
seorang bhikkhu memiliki empat pendukung.8
(5) “Dan
bagaimana seorang bhikkhu menghalau banyak kebenaran yang terpisah-pisah?
Di sini, para bhikkhu, ada banyak kebenaran yang terpisah-pisah yang dikukuhi
oleh berbagai petapa dan brahmana, misalnya: ‘Dunia itu kekal’ atau ‘Dunia itu
tidak kekal’; ‘Dunia itu terbatas’ atau ‘Dunia itu tidak terbatas’; ‘Jiwa itu
satu hal dan tubuh itu hal lain’ atau ‘Jiwa dan tubuh itu sama’; ‘Tathagata
tetap ada setelah kematian’ atau ‘Tathagata tidak lagi ada setelah kematian’
atau ‘Tathagata ada dan tidak ada setelah kematian’ atau ‘Tathagata bukan ada
pun bukan tiada setelah kematian’.9 Seorang bhikkhu telah membuang
semua ini, menghalaunya, meninggalkannya dan menolaknya, melepas, menghapus dan
keluar dari semua itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah menghalau
banyak kebenaran yang terpisah-pisah.
(6) “Dan
bagaimana seorang bhikkhu telah berhenti mencari? Di sini, para bhikkhu,
seorang bhikkhu telah meninggalkan pencarian kesenangan indera dan pencarian
untuk dumadi serta telah menghentikan pencarian untuk kehidupan suci. Dengan
cara inilah seorang bhikkhu telah berhenti mencari.
(7) “Dan
bagaimana seorang bhikkhu telah menjernihkan pemikirannya? Di sini, para
bhikkhu, seorang bhikkhu telah meninggalkan pemikiran sensual, pemikiran niat
jahat dan pemikiran kekerasan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah
menjernihkan pemikirannya.
(8) “Dan
bagaimana seorang bhikkhu telah menenangkan bentukan tubuh? Di sini,
para bhikkhu, dengan meninggalkan kesenangan dan penderitaan, dan dengan telah
hilangnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, seorang bhikkhu memasuki dan
tinggal di jhana keempat, yang tidak menyakitkan atau pun menyenangkan dan
mencakup pemurnian kewaspadaan oleh ketenang-seimbangan. Dengan cara inilah
seorang bhikkhu telah menenangkan bentukan tubuh. 10
(9) “Dan
bagaimana seorang bhikkhu telah terbebas di dalam pikiran? Di sini, para
bhikkhu, pikiran seorang bhikkhu telah terbebas dari nafsu, kebencian dan
kebodohan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah terbebas di dalam pikiran.
(10) “Dan
bagaimana seorang bhikkhu telah terbebas oleh kebijaksanaan? Di sini,
para bhikkhu, seorang bhikkhu memahami: ‘Nafsu, kebencian dan kebodohan telah
kutinggalkan, dipotong di akarnya, dibuat gersang seperti tunggul-punggur pohon
palem, dihancurkan sehingga tidak akan muncul di masa mendatang.’ Dengan cara
inilah seorang bhikkhu telah terbebas oleh kebijaksanaan.
“Siapa pun
para mulia di masa lampau, O para bhikkhu, yang tinggal di kediaman mulia,
semuanya tinggal di dalam sepuluh kediaman mulia ini. Siapa pun para mulia di
masa mendatang yang akan tinggal di kediaman mulia, semuanya akan tinggal di
dalam sepuluh kediaman mulia ini. Siapa pun para mulia di masa kini yang
tinggal di kediaman mulia, semuanya tinggal di dalam sepuluh kediaman mulia
ini.
“Inilah,
para bhikkhu, sepuluh kediaman mulia tempat para mulia telah tinggal di masa
lampau, tinggal di masa kini, dan akan tinggal di masa mendatang.”
(X, 20)
188. Raungan
Singa Sang Buddha
Para
bhikkhu, singa – si raja binatang buas keluar dari sarangnya di malam hari.
Kemudian ia menggeliat, mengamati empat penjuru di sekelilingnya, dan tiga kali
menyuarakan raungan singanya.11 Mengapa? (Dia melakukan hal itu
dengan berpikir:) “Semoga aku tidak menyebabkan kematian makhluk-makhluk kecil
yang berkeliaran!”
“Sang Singa”
– ini, para bhikkhu, adalah nama untuk Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Telah
Sepenuhnya Tercerahkan. Para bhikkhu, ketika Sang Tathagata menjelaskan Dhamma
secara terperinci di sekumpulan orang, itulah raungan singanya.
Para
bhikkhu, ada sepuluh kekuatan Tathagata 12 yang dimiliki Sang
Tathagata. Dan karena memilikinya, maka Sang Tathagata mendapat kedudukan
tertinggi, mengeluarkan raungan singanya di sekumpulan orang dan memutar Roda
Dhamma 13 tertinggi. Apakah sepuluh kekuatan itu?
(1) Di sini,
Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, penyebab sebagai penyebab dan
bukan-penyebab sebagai bukan-penyebab. 14 Inilah kekuatan
Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata, yang menjadi alasan mengapa Beliau
mendapat kedudukan tertinggi, mengeluarkan raungan singanya di sekumpulan
orang, dan memutar Roda Dhamma tertinggi.
(2)
Kemudian, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, lewat penyebab dan
kondisi akar,15 hasil tindakan-tindakan yang dilakukan di masa
lalu, masa mendatang dan masa kini. Ini juga kekuatan Tathagata yang
dimiliki Sang Tathagata ….
(3)
Kemudian, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, jalan yang menuju pada
semua keberadaan.16 Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki
Sang Tathagata ….
(4)
Kemudian, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, dunia dengan segala
elemennya yang berbeda-beda.” 17 Ini juga kekuatan Tathagata
yang dimiliki Sang Tathagata ….
(5)
Kemudian, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, kecenderungan-kecenderungan
semua makhluk. 18 Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang
Tathagata ….
(6)
Kemudian, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, kondisi-kondisi
kemampuan batin yang rendah dan tinggi dari makhluk-makhluk lain, dan
orang-orang lain. 19 Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki
Sang Tathagata ….
(7)
Kemudian, Sang Tathagata memahami, seperti apa adanya, mengenai jhana-jhana,
pembebasan, konsentrasi, dan pencapaian-pencapaian meditatif,
kelemahan-kelemahan dan kemurniannya, dan kemunculannya dari itu semua.20
Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata ….
(8)
Kemudian, Sang Tathagata mengingat kehidupan-kehidupan masa lalunya yang
banyak jumlahnya, yaitu satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat
kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh
kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran,
seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, berkalpa-kalpa pengerutan dunia,
berkalpa-kalpa pengembangan dunia, berkalpa-kalpa pengerutan dan pengembangan
dunia … (seperti dalam Teks 41) … Demikianlah dengan aspek-aspek dan hal-hal
khusus Beliau mengingat kehidupan-kehidupan masa lalu yang banyak jumlahnya.
Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata ….
(9)
Kemudian, dengan mata dewa yang telah dimurnikan dan mengungguli manusia, Sang
Tathagata melihat makhluk-makhluk mati dan muncul kembali, yang lebih
rendah dan lebih tinggi, yang elok dan buruk, dengan tempat tujuan yang baik
atau buruk. Beliau memahami keadaan makhluk-makhluk sesuai dengan perbuatan
mereka … (seperti dalam Teks 41) … Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki
Sang Tathagata ….
(10)
Kemudian, Sang Tathagata, dengan hancurnya noda-noda, di dalam kehidupan ini
juga masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran yang tak-ternoda,
pembebasan oleh kebijaksanaan, setelah menyadarinya sendiri lewat pengetahuan
langsung. Ini juga kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata, yang menjadi
alasan mengapa Beliau mendapat kedudukan tertinggi, mengeluarkan raungan
singanya di sekumpulan orang, dan memutar Roda Dhamma tertinggi.
Para
bhikkhu, inilah sepuluh kekuatan Tathagata yang dimiliki Sang Tathagata. Dan
karena memilikinya, maka Sang Tathagata mendapat kedudukan tertinggi,
mengeluarkan raungan singanya di sekumpulan orang, dan memutar Roda Dhamma
tertinggi.
(X, 21)
189.
Istilah-istilah Doktrin
Pada suatu
ketika Y.M. Ananda menghampiri Yang Terberkahi. Setelah memberi hormat kepada
Beliau, Y.M. Ananda duduk di satu sisi. Kemudian Yang Terberkahi berkata kepada
Y.M. Ananda demikian:
“Di sini,
Ananda, aku yakin mengenai semua hal yang membawa menuju realisasi lewat
pengetahuan langsung tentang istilah-istilah doktrin, 21 dan
kunyatakan, aku mengajarkan Dhamma tentang hal-hal ini dengan cara khusus
sehingga orang yang bertindak sesuai dengannya akan mengetahui yang nyata
sebagai yang nyata dan yang tidak nyata sebagai yang tidak nyata; dia akan
mengetahui yang rendah sebagai yang rendah dan yang luar biasa sebagai yang
luar biasa; dia akan mengetahui apa yang bisa dilampaui sebagai yang bisa
dilampaui dan yang tidak bisa dilampaui sebagai yang tidak bisa dilampaui; dan
ada kemungkinan dia akan mengetahui, memahami dan merealisasikannya sebagaimana
hal itu seharusnya diketahui, dipahami dan direalisasikan.
“Tetapi,
Ananda, itu adalah pengetahuan tertinggi, yaitu pengetahuan tentang semua hal
seperti apa adanya. Dan kukatakan, Ananda, tidak ada pengetahuan yang lebih
tinggi dan lebih luar biasa daripada ini.
(Berikutnya
adalah pengulangan lengkap teks tentang sepuluh kekuatan Tathagata seperti di
dalam sutta sebelumnya.)
(X, 22;
intisari)
190.
Ketidakkekalan Universal
(1) Para
bhikkhu, sejauh ada orang Kasi 22 dan Kosala, sejauh kerajaan Raja
Pasenadi dari Kosala membentang, Raja Pasenadi dari Kosala menduduki tempat
tertinggi. Tetapi bahkan pada Raja Pasenadi pun perubahan 23 terjadi,
transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para bhikkhu, seorang siswa
mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu; karena jijik, dia menjadi
kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi 24 apalagi terhadap yang
rendah.
(2) Para
bhikkhu, sejauh matahari dan bulan berputar dan menerangi semua arah dengan
sinarnya, seribu sistem sejauh itu pulalah dunia ini membentang. Dan di dalam
seribu sistem dunia ini ada seribu bulan, seribu matahari, seribu Gunung Sineru
raja segala gunung, seribu Benua Jambudipa, seribu Benua Goyana Barat, seribu
Benua Kuru Utara, seribu Benua Videha Timur, seribu empat samudera besar, seribu
Empat Raja Surgawi dan surga-surga mereka, seribu tiap-tiap surga dari
dewa-dewa Tavatimsa, dewa-dewa Yama, dewa-dewa Tusita, dewa-dewa Yang Senang
Mencipta, dewa-dewa Yang Mengontrol Apa Yang Diciptakan Oleh Yang Lain, dan ada
seribu alam-Brahma. Para bhikkhu, sejauh seribu sistem dunia ini membentang,
Mahabrahma menduduki tempat tertinggi. Tetapi bahkan pada Mahabrahma pun
perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para
bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu;
karena jijik, dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi
terhadap yang rendah.
(3) Akan ada
saatnya, para bhikkhu, dunia ini mencapai akhirnya. Dan pada saat itu, pada
umumnya makhluk-makhluk akan terlahir di antara para dewa Yang Bercahaya
Memancar.25 Di sana mereka tinggal, terbuat dari pikiran, makan dari
kegembiraan, memancarkan cahaya dari dirinya sendiri, melintasi langit, hidup
di dalam cahaya kemuliaan, dan demikianlah mereka hidup untuk waktu yang amat
lama. Ketika dunia berakhir, para bhikkhu, para dewa Yang Bercahaya Memancar
ini menduduki tempat tertinggi. Tetapi bahkan pada dewa-dewa ini pun
perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para
bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu;
karena jijik, dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi
terhadap yang rendah.
(4) Para
bhikkhu, ada sepuluh macam kasina.26 Apakah yang sepuluh itu?
Seseorang memahami kasina tanah, di atas, di bawah, di semua sisi, tak
terbagi, tak terbatas; orang lain memahami kasina air … kasina
api … kasina angin … kasina biru … kuning … merah … putih … kasina
ruang … kasina kesadaran, di atas, di bawah, di semua sisi, tak terbagi,
tak terbatas. Inilah sepuluh macam kasina. Di antara yang sepuluh itu,
inilah yang tertinggi: ketika seseorang memahami kasina kesadaran, di
atas, di bawah, di semua sisi, tak terbagi, tak terbatas. Benar-benar ada, para
bhikkhu, orang-orang yang memiliki pemahaman seperti ini. Tetapi bahkan pada
mereka pun perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini,
para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu;
karena jijik, dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi
terhadap yang rendah.
(5) Para
bhikkhu, ada delapan tahap penguasaan.27 Apakah yang delapan itu?
(i) Dengan
memahami bentuk-bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk-bentuk secara
eksternal, yang kecil, indah atau buruk; dan dengan menguasai hal ini, dia
memahami: “Aku tahu! Aku melihat!” Inilah tahap penguasaan pertama …
(viii) Tanpa memahami bentuk-bentuk secara internal, seseorang melihat
bentuk-bentuk secara eksternal, bentuk-bentuk putih, yang berwarna putih,
penampilan putih, kemilau putih, dan dengan menguasai hal ini, dia memahami:
“Aku tahu! Aku melihat!” Inilah tahap penguasaan kedelapan.
Di antara
delapan ini, yang terakhir adalah yang tertinggi. Benar-benar ada, para
bhikkhu, orang-orang yang memiliki pemahaman seperti ini. Tetapi bahkan pada mereka
pun perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para
bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu;
karena jijik dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi
terhadap yang rendah.
(6) Para
bhikkhu, ada empat cara kemajuan: Cara kemajuan yang menyakitkan, dengan
pengetahuan langsung yang lamban; cara kemajuan yang menyakitkan, dengan
pengetahuan langsung yang cepat; cara kemajuan yang menyenangkan, dengan
pengetahuan langsung yang lamban; cara kemajuan yang menyenangkan, dengan
pengetahuan langsung yang cepat.28 Di antara empat ini, yang
tertinggi adalah cara kemajuan yang menyenangkan, dengan pengetahuan langsung
yang cepat. Benar-benar ada, para bhikkhu, orang-orang yang membuat kemajuan
seperti ini. Tetapi bahkan pada mereka pun perubahan terjadi, transformasi
terjadi. Ketika melihat hal ini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang
terlatih menjadi jijik terhadap hal itu; karena jijik dia menjadi kehilangan
nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi terhadap yang rendah.
(7) Para
bhikkhu, ada empat cara pemahaman: satu orang memahami apa yang terbatas; yang
lain memahami apa yang tinggi; yang lain memahami apa yang tak-terukur; dan
yang lain lagi, menyadari, “Ada ketiadaan”, dan memahami landasan ketiadaan.29
Di antara
empat cara pemahaman itu, yang tertinggi adalah ketika menyadari bahwa “Ada
ketiadaan”, orang memahami landasan ketiadaan. Benar-benar ada, para bhikkhu,
orang-orang yang memahami seperti ini. Tetapi bahkan pada mereka pun
perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para
bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu;
karena jijik dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi
terhadap yang rendah.
(8) Para
bhikkhu, di antara pandangan-pandangan orang luar, inilah yang tertinggi: “Aku
mungkin tidak ada dan itu mungkin bukan milikku; aku tidak akan ada dan itu
tidak akan menjadi milikku.”30
Bagi
seseorang, para bhikkhu, yang memiliki pandangan semacam itu, dapat diharapkan
bahwa dia tidak akan merasa tertarik pada dumadi dan tidak akan memiliki
kebencian terhadap berhentinya dumadi.31 Benar-benar ada, para
bhikkhu, orang-orang yang memiliki pandangan seperti itu. Tetapi bahkan pada mereka
pun perubahan terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para
bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu;
karena jijik dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi
terhadap yang rendah.
(9) Para
bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang mengajarkan “pemurnian
tertinggi”.32 Mereka yang mengajarkan “pemurnian tertinggi”
menganggapnya sebagai yang tertinggi, jika – setelah melampaui landasan
ketiadaan – orang masuk dan berdiam di dalam landasan bukan
persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi. Mereka mengajarkan ajaran mereka untuk
pengetahuan langsung dan realisasinya. Benar-benar ada, para bhikkhu,
orang-orang yang mengajar demikian. Tetapi bahkan pada mereka pun perubahan
terjadi, transformasi terjadi. Ketika melihat hal ini, para bhikkhu,
seorang siswa mulia yang terlatih menjadi jijik terhadap hal itu; karena jijik
dia menjadi kehilangan nafsu terhadap yang tertinggi, apalagi terhadap yang
rendah.
(10) Para
bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang mengajarkan Nibbana tertinggi di
dalam kehidupan ini juga.33 Bagi mereka yang mengajarkan Nibbana
tertinggi di dalam kehidupan ini juga, yang tertinggi adalah
pembebasan-tanpa-kemelekatan yang dicapai setelah melihat enam landasan kontak
sebagaimana adanya, yaitu, muncul dan lenyapnya, kepuasan dan bahaya di dalamnya,
dan jalan keluar dari semua itu.
Dan meskipun
aku mengajarkan dan menyatakan demikian, beberapa petapa dan brahmana, secara
salah, tanpa dasar, secara tidak tepat dan tidak benar menyalahartikan aku
demikian: “Petapa Gotama tidak mengajarkan pemahaman yang lengkap tentang
kesenangan-kesenangan indera, atau tentang bentuk-bentuk, atau tentang
perasaan-perasaan”. Padahal, para bhikkhu, aku benar-benar mengajarkan
pemahaman yang lengkap tentang kesenangan-kesenangan indera, dan tentang
bentuk-bentuk, dan tentang perasaan-perasaan.34 Dan karena telah
tenang, dahagaku terpuaskan dan telah tersejukkan di dalam kehidupan ini juga,
kunyatakan bahwa Nibbana tertinggi itu bebas dari kemelekatan.35
(X, 29)
191.
Penghormatan Raja Pasenadi pada Sang Buddha
Pada suatu
ketika Yang Terberkahi berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, di Vihara
Anathapindika. Pada waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala kembali dari latihan
perang 36 setelah berhasil menang dan mencapai tujuannya. Raja
kemudian pergi ke arah vihara. Dia menaiki kereta perangnya sampai di akhir
jalan; kemudian dia turun dari keretanya dan berjalan kaki masuk ke vihara.
Pada saat
itu, beberapa bhikkhu sedang berjalan hilir mudik di tempat terbuka. Sang Raja
menghampiri mereka dan bertanya:
“Yang mulia,
di manakah Yang Terberkahi sekarang?”
“Beliau
berada di ruang sana, raja yang agung, yang pintunya tertutup itu. Anda bisa ke
sana dengan diam tanpa terburu-buru. Kemudian masuklah ke beranda, berdehamlah,
dan ketuklah dengan pengetuk pintu. Yang Terberkahi akan membuka pintu buat
Anda.”
Raja itu
melakukan seperti apa yang dikatakan para bhikkhu dan Sang Buddha membuka
pintu. Setelah masuk, Raja Pasenadi membungkuk dalam-dalam di depan Yang
Terberkahi. Dengan kepala menyentuh tanah, raja mencium kaki Sang Buddha sambil
memegang kedua kaki Beliau dengan kedua tangannya. Kemudian dia menyebutkan
namanya: “Saya Pasenadi, Bhante, raja Kosala. Saya Pasenadi, Bhante, raja
Kosala.”
“Tetapi,
raja yang agung, alasan apa yang Anda lihat sehingga pada tubuh ini Anda
tunjukkan kerendahan hati yang sangat dalam dan Anda persembahkan kepadanya
kesetiaan yang penuh cinta kasih?”
“Untuk
menunjukkan rasa terima kasih saya, Bhante; dengan alasan inilah, Bhante, saya
menunjukkan kepada Yang Terberkahi kerendahan hati yang sangat dalam dan
mempersembahkan kepada Beliau kesetiaan yang penuh cinta kasih.
“Yang
Terberkahi, Bhante, hidup untuk kesejahteraan orang banyak, untuk
kebahagiaan orang banyak. Beliau telah memantapkan banyak orang pada jalan
yang mulia, di dalam ajaran-ajaran yang baik dan bajik. Dengan alasan inilah,
Bhante, saya menunjukkan kepada Yang Terberkahi kerendahan hati yang sangat
dalam dan mempersembahkan kepada Beliau kesetiaan yang penuh cinta kasih.
“Kemudian,
Bhante, Yang Terberkahi itu bermoral, memiliki moralitas yang matang, moralitas
yang mulia, moralitas yang bajik; Beliau memiliki moralitas yang bajik.
Dengan alasan inilah ….
“Kemudian,
Bhante, Yang Terberkahi telah lama menjadi penghuni hutan; Beliau tinggal di
hutan-hutan terpencil, di tempat tinggal terasing. Dengan alasan inilah ….
“Kemudian,
Bhante, Yang Terberkahi merasa puas dengan jubah, dana makanan, tempat
tinggal, dan kebutuhan obat-obatan apa pun yang Beliau terima. Dengan
alasan inilah ….
“Kemudian,
Bhante, Yang Terberkahi pantas memperoleh pemberian, pantas memperoleh
keramahan, pantas memperoleh persembahan, pantas memperoleh penghormatan,
karena Beliau adalah ladang perbuatan jasa yang tiada taranya di dunia.
Dengan alasan inilah ….
“Kemudian,
Bhante, Yang Terberkahi memperoleh sesuai dengan keinginannya, tanpa halangan
dan kesulitan, (kesempatan untuk) berbicara yang sesuai dengan kehidupan petapa
dan yang membantu kejernihan mental; yakni, pembicaraan tentang sedikitnya
keinginan, tentang kepuasan, tentang kesendirian, tentang pengasingan diri, tentang
pengerahan semangat, tentang moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, pembebasan
dan pengetahuan dan pandangan tentang pembebasan. Dengan alasan inilah …
“Kemudian,
Bhante, Yang Terberkahi mencapai sesuai dengan keinginannya – tanpa halangan
dan kesulitan – keempat jhana, yang berhubungan dengan pikiran yang lebih
tinggi dan kediaman yang menyenangkan di dalam kehidupan yang ini juga. Dengan
alasan inilah …
“Kemudian,
Bhante, Yang Terberkahi mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu
kelahiran … (seperti di dalam Teks 188,§8) … Dengan alasan inilah ….
“Kemudian,
Bhante, dengan mata dewa, yang telah termurnikan dan melampaui manusia, Yang
Terberkahi melihat makhluk-makhluk berlalu dan muncul kembali … (seperti di
dalam Teks 188,§9) … Dengan alasan inilah ….
“Kemudian,
Bhante, Yang Terberkahi – dengan hancurnya noda-noda – di dalam kehidupan ini
juga masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran yang tak bernoda, pembebasan
oleh kebijaksanaan, setelah merealisasikannya sendiri lewat pengetahuan langsung.
Dengan alasan inilah, Tuan, saya menunjukkan kepada Yang Terberkahi kerendahan
hati yang sangat dalam dan mempersembahkan kepada Beliau kesetiaan yang penuh
cinta kasih.
“Tetapi
sekarang, Bhante, kami harus pergi. Kami mempunyai banyak pekerjaan dan banyak
tugas.”
“Lakukanlah
apa yang Anda anggap sesuai, raja yang agung.”
Dan Raja
Pasenadi dari Kosala bangkit dari tempat duduknya, memberi hormat kepada Yang
Terberkahi, dan dengan menjaga agar Beliau tetap di sebelah kanannya, dia pun
pergi.
(X, 30)
192. Sepuluh
Perenungan Bhikkhu
Ada, O para
bhikkhu, sepuluh hal yang harus sering direnungkan oleh orang yang telah
meninggalkan segalanya untuk menjadi bhikkhu. Apakah yang sepuluh itu?
“Aku telah
memasuki kondisi tanpa-kelas” – ini harus sering direnungkan oleh orang yang
telah meninggalkan segalanya untuk menjadi bhikkhu. “Hidupku bergantung pada
(kebaikan hati) orang lain” … “Tingkah lakuku harus berbeda (daripada para
perumah-tangga)” … “Apakah aku mencela diriku sendiri sehubungan dengan
moralitas?” … “Apakah sesama bhikkhu yang bijaksana mencelaku sehubungan dengan
moralitas?”… “Aku pasti dipisahkan dan diceraikan dari semua yang kucintai dan
kusayangi” … “Aku adalah pemilik tindakanku sendiri, pewaris tindakanku
sendiri, tindakan adalah kandungan (dari situ aku muncul), tindakan adalah
keluargaku, tindakan adalah pelindungku; apa pun tindakan yang aku lakukan,
baik atau buruk, aku akan menjadi pewarisnya” … “Bagaimana aku menghabiskan
hari-hari dan malam-malamku?” … “Apakah aku senang berada di gubuk kosong?” …
“Apakah aku telah mencapai perolehan yang melebihi manusia biasa dalam hal
pengetahuan dan pandangan sebagai layaknya dimiliki siswa-siswa mulia, sehingga
apabila ditanya oleh sesama bhikkhu pada saat kematianku, aku tidak akan
cemas?” – ini harus sering direnungkan oleh seseorang yang telah meninggalkan
segalanya untuk menjadi seorang bhikkhu. Ini adalah sepuluh hal yang harus
sering direnungkan 37 oleh seseorang yang telah meninggalkan
segalanya untuk menjadi seorang bhikkhu.
(X, 48)
193.
Pemeriksaan Diri Sendiri
Jika, O para
bhikkhu, seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal mengetahui jalan pikiran
orang lain, dia harus bertekad, “Aku harus menjadi terampil dalam hal
mengetahui jalan pikiranku sendiri.” Demikianlah, para bhikkhu, engkau harus
melatih diri sendiri.
Dan
bagaimana seorang bhikkhu terampil dalam hal mengetahui jalan pikirannya
sendiri? Sama seperti seorang wanita atau pria, yang masih muda dan menyukai
perhiasan, akan melihat wajah mereka di cermin yang bersih dan cemerlang atau
di mangkuk yang berisi air jernih. Jika mereka kemudian melihat debu atau
kotoran, mereka akan berusaha keras untuk menyingkirkannya. Tetapi apabila
tidak ada debu atau kotoran yang terlihat, mereka akan merasa senang. Dan
karena keinginan mereka terpenuhi, mereka akan berpikir, “Bagus sekali! Aku
bersih!”
Demikian
pula, para bhikkhu, bagi seorang bhikkhu pemeriksaan diri sendiri sangat
membantu untuk pertumbuhan kualitas-kualitas yang bajik: “Apakah aku sering
iri hati, atau sering tidak iri hati? Apakah aku sering mempunyai niat
jahat di hatiku, atau sering bebas darinya? Apakah aku sering berkubang
di dalam kemalasan dan kelambanan, atau sering bebas darinya? Apakah emosiku
sering bergejolak, atau sering bebas darinya? Apakah aku sering berada
di dalam keraguan atau sering bebas darinya? Apakah aku sering marah,
atau sering bebas dari kemarahan? Apakah pikiranku sering terkotori dengan
pemikiran-pemikiran yang tak-bajik, atau sering bebas dari kekotoran batin?
Apakah tubuhku sering gelisah, atau sering bebas dari kegelisahan?
Apakah aku sering malas, atau sering bersemangat? Apakah aku sering
tidak terkonsentrasi, atau sering terkonsentrasi?”
Bila dengan
memeriksa dirinya seperti ini, seorang bhikkhu menyadari bahwa dia sering
iri hati, penuh niat jahat, lamban, bergejolak, ragu, marah, kotor secara
mental, gelisah secara fisik, malas dan tidak terkonsentrasi, maka dia
harus mengerahkan segenap semangat dan energinya, daya dan upayanya, serta
kewaspadaan yang tak terputus dan pemahamannya yang jernih, untuk meninggalkan
semua kualitas yang jahat dan tak-bajik itu.
Sama seperti
seorang laki-laki yang baju atau ikat kepalanya terbakar akan mengerahkan
segenap semangat dan energinya, daya dan upayanya, serta kewaspadaan dan
pemahamannya yang jernih, sehingga dia dapat memadamkan api itu; demikian pula
seorang bhikkhu harus mengerahkan segenap semangat dan energinya … untuk
meninggalkan kualitas-kualitas yang jahat dan tak-bajik itu.
Tetapi, jika
pada saat memeriksa dirinya sendiri itu, seorang bhikkhu menyadari bahwa dia
lebih sering tanpa iri hati dan niat jahat, lebih sering bebas dari kemalasan
dan kelambanan, bebas dari gejolak dan keraguan; lebih sering bebas dari
kemarahan; dan menyadari bahwa pikirannya lebih sering tidak memiliki kekotoran
dan tubuhnya bebas dari kegelisahan; bahwa dia lebih sering bersemangat dan
terkonsentrasi dengan baik maka dengan berpijak kuat-kuat pada
kualitas-kualitas bajik ini, dia harus mengerahkan usaha yang lebih jauh lagi
untuk menghancurkan semua noda.
(X, 51)
194. Akar
Segalanya
Mungkin, O
para bhikkhu, petapa-petapa kelana yang memiliki kepercayaan lain bertanya
kepadamu: 38 “Pada apakah segala sesuatu berakar? Bagaimana semua
itu bisa memiliki keberadaan yang nyata? Dari mana semua itu muncul? Menuju ke
mana semua itu? Apa yang terpenting di dalam segala sesuatu? Siapakah penguasa
mereka? Apakah yang tertinggi dari semua hal? Apakah inti dari semua hal? Di
mana semua hal melebur? Di mana mereka berakhir?”
Jika ditanya
demikian, para bhikkhu, engkau harus menjawab begini: “Segala sesuatu berakar
pada nafsu keinginan.39 Semua itu bisa memiliki keberadaan yang
nyata melalui perhatian, 40 berawal dari kontak, dan menyatu pada
perasaan. Yang terpenting di dalam segala sesuatu adalah konsentrasi. Semua hal
dikuasai oleh kewaspadaan. Puncak segala sesuatu adalah kebijaksanaan, intinya
adalah pembebasan. Segala sesuatu melebur di dalam Tanpa-kematian, dan Nibbana
adalah titik akhirnya.41
(X, 58)
195.
Semangat Kebhikkhuan
Para
bhikkhu, engkau harus melatih dirimu demikian: “Di dalam semangat meninggalkan
kehidupan berumah-tanggalah pikiran kita diperkuat!42 Tidak boleh
ada pemikiran-pemikiran jahat dan tak-bajik yang terus-menguasai pikiran kita!
Di dalam persepsi tentang ketidakkekalanlah pikiran kita diperkuat! Di dalam
persepsi tentang tanpa-dirilah pikiran kita diperkuat! Di dalam persepsi
tentang sifat kotorlah pikiran kita diperkuat! Di dalam persepsi tentang
bahayalah pikiran kita diperkuat! Dengan mengetahui cara-cara dunia yang lurus
dan tidak luruslah pikiran kita diperkuat! Dengan mengetahui perkembangan dan
penyusutan dunialah pikiran kita diperkuat! 43 Dengan mengetahui
muncul dan lenyapnya dunialah pikiran kita diperkuat! 44 Di dalam
persepsi tentang pelepasanlah pikiran kita diperkuat! Di dalam persepsi tentang
hilangnya nafsulah pikiran kita diperkuat! Di dalam persepsi tentang
penghentianlah pikiran kita diperkuat!45 Demikianlah, para bhikkhu,
engkau harus melatih dirimu.
Ketika
pikiran seorang bhikkhu diperkuat dengan cara-cara ini, satu atau dua hasil
bisa diharapkan: pengetahuan akhir di dalam kehidupan sekarang ini juga, atau –
jika masih ada sisa kemelekatan – tingkat Yang-Tak-Kembali-Lagi.
(X, 59)
196.
Girimananda
Pada suatu
ketika Yang Terberkahi berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Vihara Anathapindika.
Pada waktu itu Y.M. Girimananda sedang mengalami penderitaan karena terkena
penyakit yang parah.46 Kemudian Y.M. Ananda menghampiri Yang
Terberkahi, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Setelah
duduk, dia kemudian berkata kepada Yang Terberkahi:
“Bhante,
Y.M. Girimananda sedang mengalami penderitaan karena terkena penyakit yang
parah. Alangkah baiknya, Bhante, jika Yang Terberkahi pergi menengoknya dengan
kasih sayang.”
“Ananda,
jika engkau pergi ke Bhikkhu Girimananda dan berbicara kepadanya tentang
sepuluh persepsi, ada kemungkinan dia akan segera sembuh dari penyakitnya itu.
Apakah yang sepuluh itu?
“Persepsi
tentang ketidakkekalan, persepsi tentang tanpa-diri, persepsi tentang
kekotoran, persepsi tentang bahaya, persepsi tentang melepas, persepsi tentang
hilangnya nafsu, persepsi tentang penghentian, persepsi tentang
ketidaktertarikan terhadap seluruh dunia, persepsi tentang ketidakkekalan semua
bentukan, dan kewaspadaan akan nafas.
(1) “Dan
apa, Ananda, persepsi tentang ketidakkekalan itu? Di sini, Ananda, setelah
pergi ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu
merenungkan demikian: ‘Bentuk adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal,
persepsi adalah tidak kekal, bentukan berkehendak adalah tidak kekal, kesadaran
adalah tidak kekal.’ Demikianlah dia berdiam merenungkan ketidakkekalan di
dalam lima kelompok yang bisa menyebabkan kemelekatan. Inilah yang disebut
persepsi tentang ketidakkekalan.
(2) “Dan
apa, Ananda, persepsi tentang tanpa-diri itu? Di sini, Ananda, setelah
pergi ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu
merenungkan demikian: ‘Mata adalah tanpa-diri, bentuk-bentuk adalah tanpa-diri;
telinga adalah tanpa-diri, suara-suara adalah tanpa-diri; hidung adalah
tanpa-diri; bau adalah tanpa-diri; lidah adalah tanpa-diri, citarasa adalah
tanpa-diri; tubuh adalah tanpa-diri; objek yang bisa disentuh adalah
tanpa-diri; pikiran adalah tanpa-diri; objek pikiran adalah tanpa-diri.’
Demikianlah dia berdiam merenungkan tanpa-diri di dalam enam landasan indera
internal dan eksternal. Inilah yang disebut persepsi tentang tanpa-diri.
(3) “Dan apa, Ananda, persepsi tentang kekotoran itu?47 Di sini, Ananda, seorang bhikkhu memeriksa tubuh ini, dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, yang terbalut kulit, yang penuh dengan berbagai kekotoran: ‘Di tubuh ini ada rambut kepala, bulu tubuh, kuku, gigi, kulit, daging, otot, tulang, sumsum tulang, ginjal, jantung, hati, diafragma, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, lemak cair, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing.’ Demikianlah dia berdiam merenungkan kekotoran tubuh ini. Inilah yang disebut persepsi tentang kekotoran.
(3) “Dan apa, Ananda, persepsi tentang kekotoran itu?47 Di sini, Ananda, seorang bhikkhu memeriksa tubuh ini, dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, yang terbalut kulit, yang penuh dengan berbagai kekotoran: ‘Di tubuh ini ada rambut kepala, bulu tubuh, kuku, gigi, kulit, daging, otot, tulang, sumsum tulang, ginjal, jantung, hati, diafragma, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, lemak cair, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing.’ Demikianlah dia berdiam merenungkan kekotoran tubuh ini. Inilah yang disebut persepsi tentang kekotoran.
(4) “Dan
apa, Ananda, persepsi tentang bahaya itu? Di sini, Ananda, setelah pergi
ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan
demikian: ‘Tubuh ini adalah sumber dari banyak rasa sakit dan banyak bahaya;
berbagai macam penyakit muncul di tubuh ini, yaitu penyakit mata, penyakit
telinga, penyakit hidung, penyakit lidah, penyakit tubuh; sakit kepala, gondok,
penyakit mulut, sakit gigi, batuk, asma, flu, sakit jantung, demam, sakit
perut, pingsan, tekanan darah yang berubah-ubah, kram perut, kolera, lepra,
borok, plak, TBC, penyakit ayan, gatal, cacingan, cacar, luka berkeropeng,
bisul bernanah, penyakit kuning, diabetes, wasir, kanker, kelainan saluran; dan
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh limpa, oleh lendir, oleh angin, yang
muncul dari konflik keadaan pikiran, yang disebabkan oleh perubahan iklim, oleh
aktivitas yang tidak biasa dilakukan, oleh kekerasan, oleh hasil-hasil kamma;
dan oleh dingin, panas, kelaparan, kehausan, tinja dan air kencing.’48
Demikianlah dia berdiam merenungkan bahaya di dalam tubuh ini. Inilah yang
disebut persepsi tentang bahaya.
(5) “Dan
apa, Ananda, persepsi tentang melepas itu? Di sini, Ananda, seorang
bhikkhu tidak mentoleransi munculnya pemikiran nafsu indera; dia
meninggalkannya, menghalaunya, melenyapkannya, menghancurkannya. Dia tidak
mentoleransi munculnya pemikiran niat jahat … munculnya pemikiran kekerasan …
munculnya keadaan yang jahat dan tak-bajik; dia meninggalkannya, menghalaunya,
melenyapkannya, menghancurkannya. Inilah, Ananda, yang disebut persepsi tentang
melepas.
(6) “Dan
apa, Ananda, persepsi tentang hilangnya nafsu itu? Di sini, Ananda,
setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu
merenungkan demikian: ‘Ini memang damai, ini memang agung, yaitu berhentinya
semua bentukan, berhentinya semua keinginan, hancurnya keserakahan, hilangnya
nafsu, Nibbana.’ Inilah yang disebut persepsi tentang hilangnya nafsu.”49
(7) “Dan
apa, Ananda, persepsi tentang penghentian itu? Di sini, Ananda, setelah
pergi ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu
merenungkan demikian: ‘Ini memang damai, ini memang agung, yaitu berhentinya
semua bentukan, berhentinya semua keinginan, hancurnya keserakahan,
penghentian, Nibbana.’ Inilah yang disebut persepsi tentang penghentian.
(8) “Dan
apa, Ananda, persepsi tentang ketidaktertarikan pada seluruh dunia itu? 50
Di sini, Ananda, dengan meninggalkan segala ikatan dan kemelekatan pada dunia,
pada segala sudut pandang mental, pada kelekatan dan
kecenderungan-kecenderungan yang mendasarinya, dia menjauh darinya dan tidak
melekat. Inilah yang disebut persepsi tentang ketidaktertarikan pada seluruh
dunia.
(9) “Dan
apa, Ananda, persepsi tentang ketidakkekalan semua bentukan itu? Di
sini, Ananda, seorang bhikkhu merasa jijik, malu dan muak terhadap semua
bentukan. Inilah yang disebut persepsi tentang ketidakkekalan semua bentukan.”51
(10) Dan
apa, Ananda, kewaspadaan akan nafas itu? Di sini, Ananda, setelah pergi ke
hutan, ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu duduk, melipat dan
menyilangkan kakinya, menegakkan tubuhnya, membangun kewaspadaan di depannya.
Dengan penuh kewaspadaan dia menarik nafas, dengan penuh kewaspadaan dia
menghembuskan nafas.” 52
“Ketika
menarik nafas panjang, dia mengetahui: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau ketika
menghembuskan nafas panjang, dia mengetahui: ‘Aku menghembuskan nafas panjang’.
Ketika menarik nafas pendek, dia mengetahui: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau
ketika menghembuskan nafas pendek dia mengetahui: ‘Aku menghembuskan nafas
pendek.’ Dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami seluruh tubuh aku akan
menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami seluruh tubuh aku akan
menghembuskan nafas.’ Dia berlatih demikian: ‘Dengan menenangkan bentukan tubuh
aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan menenangkan bentukan
tubuh aku akan menghembuskan nafas.’53
“Dia
berlatih demikian: ‘Dengan mengalami sukacita aku akan menarik nafas’; dia
berlatih demikian: ‘Dengan mengalami sukacita aku akan menghembuskan nafas.’
Dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami kebahagiaan aku akan menarik nafas’;
dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami kebahagiaan aku akan menghembuskan
nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami bentukan mental aku akan
menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan mengalami bentukan mental aku
akan menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan menenangkan bentukan
mental aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan menenangkan
bentukan mental aku akan menghembuskan nafas’. 54
“Dia
berlatih demikian: ‘Dengan mengalami pikiran aku akan menarik nafas’; dia
berlatih demikian: ‘Dengan mengalami pikiran aku akan menghembuskan nafas’. Dia
berlatih demikian: ‘Dengan menggembirakan pikiran aku akan menarik nafas’; dia
berlatih demikian: ‘Dengan menggembirakan pikiran aku akan menghembuskan
nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan mengkonsentrasikan pikiran aku akan
menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan mengkonsentrasikan pikiran aku
akan menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan membebaskan pikiran
aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan membebaskan pikiran aku
akan menghembuskan nafas’.
“Dia
berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan ketidakkekalan aku akan menarik nafas’;
dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan ketidakkekalan aku akan
menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan kematian aku
akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan kematian aku
akan menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan
penghentian aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan merenungkan
penghentian aku akan menghembuskan nafas’. Dia berlatih demikian: ‘Dengan
merenungkan pelepasan aku akan menarik nafas’; dia berlatih demikian: ‘Dengan
merenungkan pelepasan aku akan menghembuskan nafas’. 55
“Inilah yang
disebut kewaspadaan akan nafas.
“Ananda,
jika engkau pergi ke Bhikkhu Girimananda dan berbicara kepadanya tentang
sepuluh persepsi ini, ada kemungkinan setelah mendengarnya dia akan sembuh dari
sakitnya.”
Kemudian,
setelah Y.M. Ananda mempelajarinya dari Yang Terberkahi, dia mengunjungi Y.M.
Girimananda dan memberitahukan sepuluh persepsi ini. Ketika Y.M. Girimananda
mendengar tentang sepuluh persepsi ini, dengan segera dia sembuh dari sakitnya.
Y.M. Girimananda bangkit dari sakitnya itu, dan demikianlah penyakitnya
disembuhkan.
(X, 60)
197.
Kebodohan dan Keserakahan
(X, 61) Para
bhikkhu, awal pertama dari kebodohan tidak dapat dilihat dengan jelas.56
Tidaklah dapat dikatakan, “Sebelum hal itu tidak ada kebodohan, dan baru
setelah hal itulah kebodohan datang.” Meskipun demikian, para bhikkhu, kondisi
khusus kebodohan itu terlihat jelas. Kebodohan juga memiliki makanan
penopangnya, kunyatakan; dan kebodohan bukannya tanpa makanan penopang. Dan
apakah makanan kebodohan itu? “Lima penghalang” adalah jawabannya.57
(X, 62) Awal
pertama dari keserakahan terhadap dumadi, O para bhikkhu, tidak dapat dilihat
dengan jelas. Tidak dapat dikatakan, “Sebelum hal itu tidak ada keserakahan
terhadap dumadi, dan baru setelah hal itulah keserakahan datang.” Meskipun
demikian, para bhikkhu, kondisi khusus keserakahan terhadap dumadi itu terlihat
jelas. Keserakahan terhadap dumadi juga memiliki makanan penopangnya,
kunyatakan; dan keserakahan terhadap dumadi bukannya tanpa makanan penopang.
Apakah makanan keserakahan terhadap dumadi itu? “Kebodohan” adalah jawabannya.
Tetapi kebodohan juga memiliki makanan penopangnya; kebodohan bukannya tanpa
makanan penopang. Dan apakah makanan kebodohan itu? “Lima penghalang”
adalah jawabannya.
(X, 61 &
62) Tetapi lima penghalang itu juga memiliki makanan penopangnya, para bhikkhu;
mereka bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi lima penghalang
itu? “Tiga cara perilaku salah” adalah jawabannya.58
Tiga cara
perilaku salah juga memiliki makanan penopangnya; mereka bukannya tanpa makanan
penopang. Dan apakah makanannya? “Kurangnya pengendalian indera” adalah
jawabannya.Kurangnya pengendalian indera juga memiliki makanan penopangnya; ia
bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanannya? “Kurangnya
kewaspadaan dan pemahaman yang jernih” adalah jawabannya.
Kurangnya
kewaspadaan dan pemahaman yang jernih juga memiliki makanan penopangnya; ia
bukannya tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi kurangnya kewaspadaan
dan pemahaman yang jernih? “Perhatian yang tidak benar” adalah
jawabannya.
Perhatian
yang tidak benar juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan
penopang. Dan apakah makanan bagi perhatian yang tidak benar? “Kurangnya
keyakinan” adalah jawabannya.
Kurangnya
keyakinan juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi kurangnya keyakinan? “Mendengarkan ajaran yang salah”
adalah jawabannya.
Mendengarkan
ajaran yang salah juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan
penopang. Dan apakah makanan bagi mendengarkan ajaran yang salah? “Berhubungan
dengan orang-orang yang tidak baik” adalah jawabannya.
Oleh sebab
itu, ketika hubungan dengan orang-orang yang tidak baik terjadi, mendengarkan
ajaran yang salah pun terjadi.59 Ketika mendengarkan ajaran yang
salah terjadi, kurangnya keyakinan pun terjadi. Ketika kurangnya keyakinan
terjadi, perhatian yang tidak benar pun terjadi. Ketika perhatian yang tidak
benar terjadi, kurangnya kewaspadaan dan perhatian yang jernih pun terjadi.
Ketika kurangnya kewaspadaan dan perhatian yang jernih terjadi, kurangnya
pengendalian indera pun terjadi. Ketika kurangnya pengendalian indera terjadi,
tiga cara perilaku salah pun terjadi. Ketika tiga cara perilaku salah terjadi,
lima penghalang pun terjadi. Ketika lima penghalang terjadi, kebodohan pun terjadi
(X, 62 menambahkan: Ketika kebodohan terjadi, keserakahan terhadap dumadi pun
terjadi). Itulah makanan bagi kebodohan (X, 62: bagi keserakahan terhadap
dumadi), dan demikianlah kebodohan terjadi.
Sama seperti
ketika hujan lebat turun di atas gunung dan langit bergemuruh, sehingga air
yang meluap ke bawah akan mengisi celah, jurang, dan retakan di gunung-gunung,
dan ketika semuanya sudah penuh, air akan mengisi kolam-kolam kecil;
kolam-kolam kecil yang penuh itu akan mengisi danau-danau; danau-danau yang
penuh itu akan mengisi sungai-sungai kecil; sungai-sungai kecil yang penuh itu
akan mengisi sungai-sungai besar; sungai-sungai besar yang penuh itu akin
mengisi samudera yang luas. Itulah makanan bagi samudera yang luas dan
demikianlah samudera menjadi penuh.
Dengan cara
yang sama, para bhikkhu, ketika hubungan dengan orang-orang yang tidak baik
terjadi, mendengarkan ajaran yang salah pun terjadi … ketika lima penghalang
terjadi, kebodohan (dan keserakahan terhadap dumadi) pun terjadi. Itulah
makanan bagi kebodohan (dan keserakahan terhadap dumadi), dan demikianlah
kebodohan terjadi.Pembebasan oleh pengetahuan tertinggi, O para bhikkhu, juga
memiliki makanan penopangnya, kunyatakan; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi pembebasan oleh pengetahuan tertinggi? “Tujuh faktor
pencerahan” adalah jawabannya.
Tujuh faktor
pencerahan juga memiliki makanan penopangnya, kunyatakan; ia bukannya tanpa
makanan penopang. Dan apakah makanan bagi tujuh faktor pencerahan? “Empat
landasan kewaspadaan” adalah jawabannya.
Empat
landasan kewaspadaan juga memiliki makanan penopangnya; mereka bukannya tanpa
makanan penopang. Dan apakah makanan bagi empat landasan kewaspadaan? “Tiga
cara perilaku benar” adalah jawabannya.
Tiga cara
perilaku benar juga memiliki makanan penopangnya; mereka bukannya tanpa makanan
penopang. Dan apakah makanan bagi tiga cara perilaku benar? “Pengendalian
indera” adalah jawabannya.
Pengendalian
indera juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi pengendalian indera? “Kewaspadaan dan pemahaman yang
jernih” adalah jawabannya.
Kewaspadaan
dan pemahaman yang jernih juga memiliki makanan penopangnya; mereka bukannya
tanpa makanan penopang. Dan apakah makanan bagi kewaspadaan dan pemahaman yang
jernih? “Perhatian yang benar” adalah jawabannya.
Perhatian
yang benar juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan
penopang. Dan apakah makanan bagi perhatian yang benar? “Keyakinan”
adalah jawabannya.
Keyakinan
juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang. Dan
apakah makanan bagi keyakinan? “Mendengarkan Dhamma sejati” adalah
jawabannya.
Mendengarkan
Dhamma sejati juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan
penopang. Dan apakah makanan bagi mendengarkan Dhamma sejati? “Berhubungan
dengan orang-orang mulia” adalah jawabannya.
Oleh sebab
itu, ketika hubungan dengan orang-orang yang mulia terjadi, mendengarkan Dhamma
sejati pun terjadi … Ketika tujuh faktor pencerahan terjadi, pembebasan oleh
pengetahuan tertinggi pun terjadi. Itulah makanan bagi pembebasan oleh
pengetahuan tertinggi, dan demikianlah pembebasan oleh pengetahuan tertinggi
terjadi.
Sama seperti
ketika hujan turun di atas gunung dan langit bergemuruh, sehingga air yang
meluap ke bawah akan mengisi celah, jurang, dan retakan di gunung-gunung, dan
ketika semuanya sudah penuh, air akan mengisi kolam-kolam kecil; kolam-kolam
kecil yang penuh itu akan mengisi danau-danau, danau-danau yang penuh itu akan
mengisi sungai-sungai kecil; sungai-sungai kecil yang penuh itu akan mengisi
sungai-sungai besar; sungai-sungai besar yang penuh itu akan mengisi samuderk a
yang luas. Itulah makanan bagi samudera yang luas, dan demikianlah samudera
menjadi penuh.
Dengan cara
yang sama, para bhikkhu, ketika hubungan dengan orang-orang yang mulia terjadi,
mendengarkan Dhamma sejati pun terjadi. Ketika mendengarkan Dhamma sejati
terjadi, keyakinan pun terjadi. Ketika keyakinan terjadi perhatian yang benar
pun terjadi. Ketika perhatian yang benar terjadi, kewaspadaan dan pemahaman
yang jernih pun terjadi. Ketika kewaspadaan dan pemahaman yang jernih terjadi,
pengendalian indera pun terjadi. Ketika pengendalian indera terjadi, tiga cara
perilaku yang baik pun terjadi. Ketika tiga cara perilaku yang baik terjadi, empat
landasan kewaspadaan pun terjadi. Ketika empat landasan kewaspadaan terjadi,
tujuh faktor pencerahan pun terjadi. Ketika tujuh faktor pencerahan terjadi,
pembebasan oleh pengetahuan tertinggi pun terjadi. Itulah makanan bagi
pembebasan oleh pengetahuan tertinggi, dan demikianlah pembebasan oleh
pengetahuan tertinggi terjadi.
(X, 61 &
62; gabungan)
198.
Kebahagiaan dan Penderitaan
Pada suatu
ketika Y.M. Sariputta berdiam di Magadha, di desa Nalaka.60 Pada
saat itu, Samandakani, seorang petapa kelana menghampiri Beliau dan bertanya:
“Sahabat
Sariputta, apakah kebahagiaan itu, dan apakah penderitaan itu?”
“Dilahirkan
kembali, sahabat, adalah penderitaan; tidak dilahirkan kembali adalah
kebahagiaan.”
(X, 65;
intisari)
199.
Kelahiran, Usia Tua dan Kematian
Seandainya
saja, O para bhikkhu, tiga hal tidak terdapat di dunia, maka Sang Tathagata,
Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan, tidak akan muncul di dunia. Dan
Dhamma serta Vinaya yang dinyatakan oleh Beliau tidak akan memancarkan sinarnya
ke seluruh dunia. Apakah tiga hal itu? Kelahiran, usia tua dan kematian.
Tetapi karena tiga hal ini terdapat di dunia, maka Sang Tathagata, Sang Arahat,
Yang Sepenuhnya tercerahkan muncul di dunia, serta Dhamma dan Vinaya yang
dinyatakan oleh Beliau memancarkan sinarnya ke seluruh dunia.
Tanpa
meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan kelahiran, usia tua
dan kematian. Apakah tiga hal itu? Keserakahan, kebencian dan kebodohan:
tanpa meninggalkan tiga hal ini orang tidak akan mampu meninggalkan kelahiran,
usia tua dan kematian.
Tanpa
meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan keserakahan,
kebencian dan kebodohan. Tiga hal itu adalah: pandangan tentang pribadi,
keraguan skeptis dan kemelekatan terhadap upacara dan takhayul.61
Tanpa
meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan pandangan tentang
pribadi, keraguan skeptis dan kemelekatan terhadap upacara dan takhayul. Tiga
hal itu adalah: perhatian yang tidak benar, mengejar cara-cara yang salah
dan kemalasan mental.
Tanpa
meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan perhatian yang tidak
benar, mengejar cara-cara yang salah dan kemalasan mental. Tiga hal itu adalah:
kelengahan, kurangnya pemahaman yang jernih dan kebingungan mental.
Tanpa
meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan kelengahan,
kurangnya pemahaman yang jernih dan kebingungan mental. Tiga hal itu adalah: tidak
tertarik bertemu dengan orang-orang mulia, tidak tertarik mendengar
ajaran-ajaran mereka dan mentalitas mencari-cari kesalahan.
Tanpa meninggalkan
tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan ketidaktertarikan bertemu dengan
orang-orang mulia, ketidaktertarikan mendengarkan ajaran-ajaran mereka dan
mentalitas mencari-cari kesalahan. Tiga hal itu adalah: kegelisahan,
kurangnya pengendalian diri dan pelanggaran moral.
Tanpa
meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan kegelisahan,
kurangnya pengendalian diri dan pelanggaran moral. Tiga hal itu adalah:
kurangnya keyakinan, ketidakramahan dan kemalasan.
Tanpa
meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan kurangnya keyakinan,
ketidakramahan dan kemalasan. Tiga hal itu adalah: sikap tidak hormat, keras
kepala dan persahabatan yang buruk.
Tanpa
meninggalkan tiga hal, orang tidak akan mampu meninggalkan sikap tidak hormat,
keras kepala dan persahabatan yang buruk. Tiga hal itu adalah: tidak adanya
malu moral, kurangnya takut moral dan kelalaian.
Para
bhikkhu, ada orang yang tidak tahu malu, ceroboh secara moral dan lalai. Karena
lalai, dia tidak dapat meninggalkan sikap tidak hormat, keras kepala dan
persahabatan yang buruk. Karena memiliki teman-teman yang buruk, dia tidak
dapat meninggalkan kurangnya keyakinan, ketidakramahan dan kemalasan. Karena
malas, dia tidak dapat meninggalkan kegelisahan, kurangnya pengendalian diri
dan pelanggaran moralitas. Karena melanggar moralitas, dia tidak dapat
meninggalkan ketidaktertarikan untuk bertemu dengan orang-orang mulia,
ketidaktertarikan mendengarkan ajaran-ajaran mereka dan mentalitas mencari-cari
kesalahan. Karena selalu mencari-cari kesalahan, dia tidak dapat meninggalkan
kelengahan, kurangnya pemahaman yang jernih dan kebingungan mental. Karena
memiliki kebingungan mental, dia tidak dapat meninggalkan perhatian yang tidak
benar, mengejar cara-cara yang salah dan kemalasan mental. Karena kemalasan
mental, dia tidak dapat meninggalkan pandangan tentang pribadi, keraguan
skeptis dan kemelekatan terhadap upacara dan takhayul. Karena terusik keraguan
skeptis, dia tidak dapat meninggalkan keserakahan, kebencian dan kebodohan. Dan
tanpa menghentikan keserakahan, kebencian dan kebodohan, dia tidak dapat
meninggalkan kelahiran, usia tua dan kematian.
Tetapi
dengan meninggalkan tiga hal, orang dapat meninggalkan kelahiran, usia tua dan
kematian. Apakah tiga hal itu? Tiga hal itu adalah: keserakahan, kebencian dan
kebodohan. Dengan meninggalkan tiga hal itu, orang akan dapat meninggalkan
kelahiran, usia tua dan kematian.
Dengan
meninggalkan tiga hal, orang dapat meninggalkan keserakahan, kebencian dan
kebodohan. Tiga hal itu adalah: pandangan tentang pribadi, keraguan skeptis dan
kemelekatan terhadap upacara dan takhayul.
(Berlanjut
dengan urutan yang sama seperti di atas sampai pada: )
Dengan
meninggalkan tiga hal, orang dapat meninggalkan sikap tidak hormat, keras
kepala dan persahabatan yang buruk. Tiga hal itu adalah: tidak adanya malu
moral, kurangnya takut moral dan kelalaian.
Para
bhikkhu, ada orang yang berhati-hati, cermat dan rajin. Karena rajin, dia dapat
meninggalkan sikap tidak hormat, keras kepala dan persahabatan yang buruk. Karena
memiliki teman-teman yang mulia, dia dapat meninggalkan kurangnya keyakinan,
ketidakramahan dan kemalasan. Karena bersemangat, dia dapat meninggalkan
kegelisahan, kurangnya pengendalian diri dan pelanggaran moralitas. Karena
bermoral, dia dapat meninggalkan ketidaktertarikan bertemu dengan orang-orang
mulia, ketidaktertarikan mendengarkan ajaran-ajaran mereka dan mentalitas
mencari-cari kesalahan. Karena tidak mencari-cari kesalahan, dia dapat
meninggalkan kelengahan, kurangnya pemahaman yang jernih dan kebingungan
mental. Karena memiliki pikiran yang tidak terusik, dia dapat meninggalkan
perhatian yang tidak benar, mengejar cara-cara yang salah dan kemalasan mental.
Karena tidak memiliki kemalasan mental, dia dapat meninggalkan pandangan
tentang pribadi, keraguan skeptis dan kemelekatan terhadap upacara dan
takhayul. Karena bebas dari keraguan, dia dapat meninggalkan keserakahan,
kebencian dan kebodohan. Setelah meninggalkan keserakahan, kebencian dan
kebodohan, dia akan dapat meninggalkan kelahiran, usia tua dan kematian.
(X, 76)
200. Ajaran
Diskriminatif
Pada suatu
ketika Yang Terberkahi berdiam di dekat Campa, di tepi kolam teratai Gaggara.
Di suatu
dini hari perumah-tangga Vajjiyamahita berangkat dari Campa untuk menemui Yang
Terberkahi.62 Kemudian dia berpikir: “Ini bukanlah saat yang tepat
untuk mengunjungi Yang Terberkahi, yang sedang berada dalam kesendirian
sekarang. Ini pun bukanlah saat yang tepat untuk mengunjungi para bhikkhu yang
mulia; mereka juga berada dalam kesendirian. Biarlah aku pergi ke taman tempat
tinggal para petapa dari ajaran lain.”
Ketika si
perumah-tangga Vajjiyamahita. tiba di taman, para petapa kelana itu sedang
duduk berkumpul. Mereka saling berteriak dan berbicara keras-keras, terlibat di
dalam berbagai percakapan yang rendah. Tetapi ketika melihat Vajjiyamahita si
perumah-tangga mendekat dari kejauhan, mereka saling memperingatkan untuk diam,
dengan berkata: “Jangan terlalu ramai, teman-teman yang terhormat, dan
tenanglah. Itu si perumah-tangga Vajjiyamahita datang. Dia adalah siswa Petapa
Gotama. Dia adalah salah satu siswa awam Petapa Gotama yang sekarang tinggal di
Campa. Orang-orang yang mulia ini tidak suka kegaduhan. Mereka terbiasa dengan
ketenangan dan mereka memuji ketenangan. Jika Vajjiyamahita melihat kelompok kita
tenang, mungkin dia berpikir untuk datang kemari.”
Maka para
petapa kelana ini pun berhenti bicara. Ketika si perumah-tangga Vajjiyamahita
tiba di sana, dia bertukar salam dengan sopan, berbicara dengan ramah dan duduk
di satu sisi. Setelah dia duduk, mereka bertanya kepadanya:
“Apakah
benar, perumah-tangga, apa yang mereka katakan – bahwa Petapa Gotama
menyalahkan semua kehidupan petapaan dan Beliau secara terbuka mengutuk dan
mencela semua petapa yang menjalani kehidupan yang keras?”
“Tidak,
tuan-tuan yang mulia, Yang Terberkahi tidak menyalahkan semua kehidupan
petapaan, Beliau tidak juga secara terbuka mengutuk dan mencela semua petapa
yang menjalani kehidupan yang keras. Apa yang pantas disalahkan akan disalahkan
oleh Yang Terberkahi; apa yang pantas dipuji akan Beliau puji. Dengan
menyalahkanaspa yang pantas disalahkan dan memuji apa yang pantas dipuji, Yang
Terberkahi mengajar dengan diskriminasi, di sini Beliau tidak mengajar secara
sepihak saja.”63
Mendengar
kata-kata ini, seorang petapa kelana berkata kepada si perumah-tangga
Vajjiyamahita, “Tunggu dulu, perumah-tangga! Petapa Gotama yang engkau
puji-puji itu adalah seorang nihilis, dan dia adalah orang yang tidak
memberikan pernyataan yang pasti.”64
“Tentang hal
itu pula, tuan-tuan yang mulia, saya akan berbicara tentang Dhamma pada
sahabat-sahabat yang terhormat. Yang Terberkahi, tuan yang mulia, menyatakan
bahwa sesuatu itu bajik dan yang lain tak-bajik. Yang Terberkahi, yang telah
menyatakan apa yang bajik dan apa yang tak-bajik, adalah orang yang memberikan
pernyataan yang pasti. Beliau bukan seorang nihilis. Beliau bukan pula orang
yang tidak memberikan pernyataan yang pasti.”
Mendengar
kata-kata ini, para kelana itu terdiam, malu, duduk di sana dengan bahu yang
lesu dan kepala tertunduk, terdiam dan tidak mampu mengatakan apa-apa. Ketika
Vajjiyamahita melihat mereka dalam keadaan seperti itu, dia berdiri dari tempat
duduknya dan pergi untuk menemui Yang Terberkahi. Setelah tiba dan memberi
hormat kepada Yang Terberkahi, dia memberitahukan percakapannya dengan para
petapa dari ajaran lain itu. Dan Yang Terberkahi berkata:
“Bagus,
perumah-tangga, bagus! Dengan cara itulah, perumah-tangga, orang-orang bodoh
seperti mereka, jika ada kesempatan yang tepat, diberitahu kesalahannya olehmu
sesuai dengan Dhamma.”
“Aku tidak
mengatakan, perumah-tangga, bahwa semua paham petapaan harus dipraktekkan;
tidak pula kukatakan bahwa semua paham petapaan harus tidak dipraktekkan. Aku
tidak mengatakan bahwa semua usaha harus dilakukan; tidak pula kukatakan bahwa
semua usaha harus tidak dilakukan. Aku tidak mengatakan bahwa setiap usaha
spiritual harus dilakukan dan setiap tindakan meninggalkan keduniawian harus
dijalankan; tidak pula kukatakan bahwa setiap usaha spiritual harus tidak
dilakukan dan setiap tindakan meninggalkan keduniawian harus tidak dijalankan.
Aku tidak mengatakan bahwa setiap orang harus membebaskan diri dari setiap
bentuk kebebasan; tidak pula kukatakan bahwa setiap orang harus tidak bebas
dari setiap bentuk kebebasan.
“Yang
kunyatakan, perumah-tangga, adalah bahwa kehidupan petapaan yang harus tidak
dipraktekkan adalah yang membuat keadaan tak-bajik tumbuh dan keadaan bajik
memudar. Namun kunyatakan, kehidupan petapaan yang membuat keadaan tak-bajik
memudar dan keadaan bajik tumbuh harus dilatih.”
“Jika dalam
melakukan usaha, mengerahkan upaya-upaya spiritual, meninggalkan keduniawian,
membebaskan diri lewat jenis kebebasan tertentu itu keadaan tak-bajik tumbuh,
maka kunyatakan, semua praktek itu harus tidak dijalankan.”
“Tetapi jika
dalam melakukan usaha, mengerahkan upaya-upaya spiritual, meninggalkan
keduniawian, membebaskan diri lewat jenis kebebasan tertentu itu keadaan
tak-bajik memudar dan keadaan bajik tumbuh, maka kunyatakan, semua praktek itu
harus dijalankan.
Maka
Vajjiyamahita si perumah-tangga, yang telah menerima Ajaran Dhamma dari Yang
Terberkahi, merasa tergugah, terinspirasi dan dibuat gembira olehnya. Dia
bangkit dari tempat duduknya, memberi hormat kepada Yang Terberkahi, dan pergi
dengan menjaga agar Beliau tetap berada di sisi kanannya.
Segera
setelah dia pergi, Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu: “Para Bhikkhu,
bahkan seorang bhikkhu yang telah lama memiliki pandangan terang tentang Dhamma
dan Vinaya pun akan memberitahukan kesalahan para petapa ajaran lain itu dengan
cara yang persis sama seperti yang telah dilakukan oleh perumah-tangga
Vajjiyamahita.”
(X, 94)
201. Apakah
Semua Makhluk Akan Mencapai Kebebasan?
Pada suatu
ketika seorang petapa kelana bernama Uttiya menghampiri Yang Terberkahi.
Setelah bertukar salam dan bercakap-cakap dengan ramah, dia duduk di satu sisi
dan bertanya kepada Yang Terberkahi:
“Bagaimanakah,
Guru Gotama: apakah dunia kekal – apakah hanya ini yang benar dan yang lain
salah?”
“Uttiya, hal
ini tidak kunyatakan: bahwa dunia kekal; dan bahwa hanya ini yang benar dan
yang lain salah”.
“Kemudian
bagaimana, Guru Gotama: apakah dunia tidak kekal – apakah hanya ini yang benar
dan yang lain salah?”
“Uttiya, hal
itu juga tidak kunyatakan: bahwa dunia tidak kekal, dan bahwa hanya ini yang
benar dan yang lain salah.”
“Bagaimana,
Guru Gotama: apakah dunia terbatas atau tidak terbatas? Apakah prinsip
kehidupan dan tubuh itu sama atau berbeda? Apakah Sang Tathagatha ada setelah
kematian atau apakah Beliau tidak ada setelah kematian? Apakah Beliau ada dan
sekaligus tidak ada atau bukan ada dan bukan pula tidak ada setelah kematian?
Apakah salah satu dari pernyataan itu merupakan satu-satunya yang benar dan
yang lain salah?”
“Uttiya,
semua itu tidak kunyatakan: bahwa dunia terbatas … bahwa Sang Tathagata bukan
ada dan bukan pula tidak ada setelah kematian; tidak juga kunyatakan bahwa
salah satu dari pernyataan itu merupakan satu-satunya yang benar dan yang lain
salah.”
“Tetapi
bagaimanakah itu, Guru Gotama? Terhadap semua pertanyaan saya Guru Gotama
menjawab tidak menyatakan demikian. Kalau demikian, apakah sebenarnya yang
dinyatakan Guru Gotama?”
“Setelah
mengetahuinya secara langsung, Uttiya, aku telah mengajarkan Dhamma kepada
siswa-siswaku untuk pemurnian para makhluk, untuk pergi melampaui kesedihan dan
ratap tangis, untuk menghentikan rasa sakit dan dukacita, untuk mencapai cara
pembebasan dan untuk merealisasikan Nibbana.”
“Tetapi,
jika Guru Gotama, dari pengetahuan langsung, mengajarkan Dhamma kepada
siswa-siswa Beliau untuk pemurnian para makhhuk, untuk pergi melampaui
kesedihan dan ratap tangis, untuk menghentikan rasa sakit dan dukacita, untuk
mencapai cara pembebasan dan untuk merealisasikan Nibbana, apakah seluruh dunia
dengan demikian akan dibebaskan,65 atau setengahnya atau
sepertiganya?”
Mendengar
kata-kata ini, Yang Terberkahi tidak berkata apa-apa.66
Kemudian
muncul pemikiran ini pada Y.M. Ananda: “Semoga Uttiya si kelana tidak mempunyai
pendapat yang merugikan dengan berpikir, ‘Ketika aku mengajukan pertanyaan
kepada Petapa Gotama tentang topik yang tinggi, Beliau terperangkap dan tidak
menjawab. Mungkin Beliau tidak dapat menjawabnya.’ Pemikiran seperti itu akan
merugikan dan membawa penderitaan bagi Uttiya untuk waktu yang lama.”
Kemudian
Y.M. Ananda menoleh pada Uttiya dan berkata, “Aku akan memberikan sebuah
perumpamaan, sahabat Uttiya, karena melalui perumpamaan orang-orang pandai
dapat memahami arti dari apa yang sudah dikatakan.”
“Seandainya,
sahabat Uttiya, raja mempunyai kota perbatasan. Di situ terdapat
benteng-benteng dan menara-menara yang kuat di atas fondasi yang kokoh, dan
hanya ada satu gerbang. Ada juga seorang penjaga gerbang yang pandai,
berpengalaman dan bijaksana. Dia menjaga supaya orang-orang yang tidak dikenal
tidak masuk dan hanya orang-orang yang dikenal saja yang diizinkan masuk. Si
penjaga gerbang itu berjalan sepanjang jalan yang mengelilingi seluruh kota.
Ketika sedang melakukannya, dia tidak melihat ada lubang atau celah di
benteng-benteng. Tidak ada satu pun yang cukup besar bahkan untuk bisa dilewati
kucing. Meskipun tidak mengetahui berapa banyak makhluk yang memasuki kota atau
meninggalkannya, tetapi dia mengetahui satu hal ini: ‘Makhluk besar yang
memasuki dan meninggalkan kota hanya bisa melakukannya melalui gerbang ini.’
“Demikian
juga, sahabat Uttiya, Sang Tathagata tidak berurusan dengan apakah seluruh
dunia akan dibebaskan oleh Ajaran Beliau atau hanya setengahnya atau
sepertiganya saja. Tetapi Sang Tathagata mengetahui bahwa siapa pun yang telah
dibebaskan, sedang dibebaskan sekarang atau akan dibebaskan dari dunia ini,
mereka semua melakukannya dengan cara menyingkirkan lima penghalang yang
mengotori pikiran dan melemahkan pemahaman, dengan cara teguh memantapkan
pikiran mereka dalam empat landasan kewaspadaan, dan dengan cara mengembangkan
tujuh faktor pencerahan di dalam sifat dasar sejatinya. Pertanyaan yang sama
itu, sahabat Uttiya, yang sebelumnya telah kau tanyakan kepada Yang Terberkahi,
telah kau tanyakan lagi dengan cara yang lain.”67
(X, 95)
202. Tidak
Di Luar Ajaran Buddha
Sepuluh hal,
para bhikkhu, tidak memiliki kemurnian dan kejelasan di luar Ajaran Guru
Tertinggi. Apakah yang sepuluh itu?
(X, 123)
Pandangan benar, niat benar, ucapan benar, tindakan benar, penghidupan benar,
usaha benar, kewaspadaan benar, konsentrasi benar, pengetahuan benar, dan
pembebasan benar.68
(X, 124) Dan
jika sepuluh hal ini belum muncul, semuanya itu tidak akan muncul di luar
Ajaran Guru Tertinggi.
(X, 125) Di
luar Ajaran Guru Tertinggi sepuluh hal ini tidak akan memberikan buah dan
manfaat yang besar.
(X, 126) Di
luar Ajaran Guru Tertinggi, sepuluh hal ini tidak akan berakhir pada hancurnya
keserakahan, kebencian dan kebodohan.
(X, 127) Di
luar Ajaran Guru Tertinggi, sepuluh hal ini membawa pada lenyap totalnya
kemelekatan, hilangnya nafsu, penghentian, kedamaian, pengetahuan langsung,
pencerahan dan Nibbana.
(X, 123-127)
203.
Rangkaian Kamma
Penghancuran
kehidupan, para bhikkhu, kunyatakan sebagai berunsur tiga: disebabkan oleh
keserakahan, disebabkan oleh kebencian, disebabkan oleh kebodohan. Demikian
pula dengan mengambil yang tidak diberikan, perilaku seksual yang salah, ucapan
yang salah, ucapan yang memecah-belah, ucapan yang kasar, obrolan yang tidak
penting, ketamakan, niat jahat dan pandangan salah, kunyatakan sebagai berunsur
tiga: yang disebabkan oleh keserakahan, disebabkan oleh kebencian dan
disebabkan oleh kebodohan.69
Karena itu,
para bhikkhu, keserakahan adalah pembuat rangkaian kamma, kebencian adalah
pembuat rangkaian kamma, kebodohan adalah pembuat rangkaian kamma. Tetapi
dengan hancurnya keserakahan, kebencian dan kebodohan, rangkaian kamma pun
terhenti.
(X, 174)
204. Yang
Baik dan yang Buruk
Aku akan
mengajarkan padamu, O para bhikkhu, yang baik dan yang buruk. Dengarkan dan
perhatikanlah dengan saksama, aku akan berbicara ….
Dan apa,
para bhikkhu, yang buruk itu? Menghancurkan kehidupan, mengambil apa yang tidak
diberikan, perilaku seksual yang salah, ucapan yang salah, ucapan yang
memecah-belah, ucapan yang kasar, obrolan yang tidak penting, ketamakan, niat
jahat dan pandangan salah. Inilah yang disebut buruk.
Dan apa,
para bhikkhu, yang baik itu? Tidak menghancurkan kehidupan, tidak mengambil apa
yang tidak diberikan, tidak berperilaku seksual yang salah, tidak berucap yang
salah, tidak berucap yang memecah-belah, tidak berucap yang kasar, tidak
mengobrol yang tidak penting, tidak tamak, memiliki niat baik dan pandangan
benar. Inilah yang disebut baik.
Aku akan
mengajarkan padamu, O para bhikkhu, sifat-sifat yang mulia dan tidak mulia …
yang bajik dan tidak bajik … apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya … Dhamma
dan bukan-Dhamma … sifat-sifat yang murni dan tidak murni … sifat-sifat yang
tercela dan yang tak-tercela … sifat-sifat yang menyiksa dan yang tak-menyiksa
… sifat-sifat yang membawa pada pengembangan (lingkaran dumadi) dan yang
membawa pada penyusutan (lingkaran) … sifat-sifat yang memunculkan penderitaan
dan sifat-sifat yang memunculkan kebahagiaan … sifat-sifat yang menghasilkan
penderitaan dan sifat-sifat yang menghasilkan kebahagiaan … jalan mulia dan
jalan yang tidak mulia … jalan yang gelap dan jalan yang terang … sifat-sifat
yang baik dan sifat-sifat yang buruk … sifat-sifat orang mulia dan orang jahat
… sifat-sifat yang harus dibangkitkan dan sifat-sifat yang tidak boleh
dibangkitkan … sifat-sifat yang harus dikejar dan yang tidak boleh dikejar …
sifat-sifat yang harus dikembangkan dan yang tidak boleh dikembangkan …
sifat-sifat yang harus ditumbuhkan dan yang tidak boleh ditumbuhkan …
sifat-sifat yang harus dikumpulkan kembali dan yang tidak boleh dikumpulkan
kembali … sifat-sifat yang harus diwujudkan dan yang tidak boleh diwujudkan.
Dan apa,
para bhikkhu, sifat-sifat yang tidak boleh diwujudkan itu? Penghancuran
kehidupan … pandangan salah. Inilah yang disebut sifat-sifat yang tidak boleh
diwujudkan.
Dan apa,
para bhikkhu, sifat-sifat yang harus diwujudkan itu? Tidak menghancurkan
kehidupan … memiliki pandangan benar. Inilah yang disebut sifat-sifat yang
harus diwujudkan.
(X, 178-97;
gabungan)
205.
Padamnya Kamma
Aku
nyatakan, O para bhikkhu, bahwa tindakan-tindakan yang diniati, dilakukan dan dikumpulkan
itu tidak akan padam selama hasilnya belum dialami, apakah di kehidupan ini
juga, di kehidupan mendatang atau di kehidupan-kehidupan berikutnya. Dan selama
hasil-hasil dari segala tindakan yang diniati, dilakukan dan dikumpulkan itu
belum dialami, tidak akan ada akhir penderitaan, demikian kunyatakan.70
Ada, para
bhikkhu, kegagalan bernoda di dalam kehidupan yang disebabkan oleh keinginan
yang tidak bajik, yang memunculkan penderitaan, mengakibatkan penderitaan.
Kegagalan bernoda ini berunsur tiga dalam tindakan fisik, berunsur empat dalam
tindakan ucapan dan berunsur tiga dalam tindakan mental.
Bagaimana
kegagalan bernoda di dalam kehidupan yang disebabkan oleh keinginan yang tidak
bajik ini berunsur tiga dalam tindakan fisik?
Ada orang
yang menghancurkan kehidupan; dia kejam dan tangannya bernoda darah; dia
cenderung melakukan pembantaian dan pembunuhan, karena tidak memiliki cinta
kasih terhadap makhluk hidup.
Dia mengambil
apa yang tidak diberikan kepadanya, didorong oleh niat mencuri barang-barang
milik orang lain, baik di desa maupun di hutan.
Dia berperilaku
salah di dalam hal seks; dia berhubungan seks dengan mereka yang berada di
bawah perlindungan ayah, ibu, saudara laki laki, saudara perempuan, sanak
saudara atau suku, atau komunitas agamanya; atau dengan mereka yang dijanjikan
akan dinikahkan, yang dilindungi hukum, dan bahkan dengan mereka yang
bertunangan dengan kalungan bunga di lehernya.71
Demikianlah
kegagalan bernoda di dalam kehidupan itu berunsur tiga dalam tindakan fisik.
Dan bagaimana
kegagalan bernoda di dalam kehidupan berunsur empat dalam tindakan ucapan?
Ada orang
yang menjadi pembohong ketika dia berada di antara komunitasnya atau di
kelompok lain, atau di antara sanak saudaranya, teman sekerjanya, di pengadilan
negara, atau ketika dipanggil sebagai saksi dan diminta mengatakan apa yang
diketahuinya. Kemudian, meskipun tidak tahu, dia akan berkata, “Saya tahu”;
meskipun tahu, dia akan berkata “Saya tidak tahu”; meskipun tidak melihat, dia
akan berkata, “Saya telah melihat”; dan meskipun telah melihat, dia akan
berkata, “Saya tidak melihat”. Dengan cara itu dia mengucapkan kebohongan yang
disengaja, baik demi dirinya sendiri, demi orang lain, atau demi keuntungan
materi.
Dia
mengeluarkan ucapan yang memecah belah: apa yang didengarnya di sini
dilaporkannya di tempat lain untuk menimbulkan konflik di sana; dan apa yang
didengarnya di sana dilaporkannya di sini untuk menimbulkan konflik di sini.
Dengan demikian dia menciptakan perselisihan di antara mereka yang bersatu, dan
dia masih juga menghasut lagi mereka yang sedang berselisih. Dia menyukai
perselisihan, dia bergembira dan bersukacita di dalamnya, dan dia mengucapkan
kata-kata yang menyebabkan perselisihan.
Dia berbicara
dengan kasar, menggunakan ucapan yang keras, kasar, pahit dan
sewenang-wenang, yang membuat orang lain marah dan menyebabkan kebingungan
pikiran. Demikianlah ucapan yang dikeluarkannya.
Dia gemar
mengobrol yang tidak penting: dia membicarakan apa yang tidak pada
waktunya, yang tidak beralasan dan tidak bermanfaat, yang tidak ada hubungannya
dengan Dhamma atau Vinaya: Pembicaraannya tidak berharga untuk disimpan, tidak
menguntungkan, tidak dianjurkan, tidak terkendali, dan mencelakakan.
Demikianlah
kegagalan yang bernoda di dalam kehidupan itu berunsur empat dalam tindakan
ucapan.
Dan
bagaimana kegagalan yang bernoda di dalam kehidupan berunsur tiga dalam
tindakan mental?
Ada orang
yang tamak; dia menginginkan kekayaan dan harta benda orang lain. Dia
berpikir: “O, apa yang dia miliki itu seharusnya kumiliki!”
Ada juga
orang yang memiliki niat jahat di hatinya. Dia memiliki pikiran yang
keji, seperti misalnya: “Biarlah makhluk-makhluk ini dibantai! Biarlah mereka
dibunuh dan dihancurkan! Semoga mereka musnah dan tidak ada lagi!”
Dia memiliki
pandangan-pandangan yang salah dan pemikiran yang menyimpang, seperti
misalnya: “Tidak ada nilai moral dalam pemberian, persembahan atau pengorbanan;
tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik atau jahat: tidak ada dunia ini
ataupun dunia lain;72 tidak ada kewajiban-kewajiban terhadap ibu dan
ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada
petapa atau brahmana di dunia ini yang hidup dan berperilaku benar, yang dapat
menjelaskan dunia ini dan dunia selanjutnya, setelah merealisasikannya melalui
pengetahuan langsung mereka.”
Demikianlah
kegagalan bernoda di dalam kehidupan – yang disebabkan oleh keinginan yang
tidak bajik, memunculkan penderitaan, berakibat dalam penderitaan – itu
berunsur tiga dalam tindakan mental.
Demikianlah
kegagalan bernoda di dalam kehidupan, yang berunsur tiga dalam tindakan fisik,
berunsur empat dalam tindakan ucapan dan berunsur tiga dalam tindakan mental,
dan yang disebabkan oleh keinginan yang tidak bajik, memunculkan penderitaan;
berakibat dalam penderitaan. Disebabkan oleh kegagalan di dalam kehidupan
inilah maka dengan hancurnya tubuh, setelah kematian, makhluk-makhluk itu akan
terlahir kembali di alam penderitaan, di tempat tujuan yang buruk, di dunia
yang rendah, di neraka.
Sama seperti
lemparan dadu yang sempurna, ketika dilemparkan ke atas akan terjatuh dengan
mantap di mana pun jatuhnya. Seperti itu pula, karena kegagalan-kegagalan
bernoda di dalam kehidupan yang disebabkan oleh keinginan yang tidak bajik,
maka makhluk-makhluk itu akan terlahir kembali di alam penderitaan … di neraka.
Kunyatakan,
para bhikkhu, bahwa tindakan-tindakan yang diniati, dilakukan dan dikumpulkan
tidak akan padam apabila hasilnya belum dialami, apakah di kehidupan ini juga,
di kehidupan mendatang atau di kehidupan kehidupan berikutnya. Dan selama
hasil-hasil dari berbagai tindakan yang diniati, dilakukan dan dikumpulkan itu
belum dialami, tidak akan ada akhir penderitaan, ini kunyatakan.
Ada, para
bhikkhu, keberhasilan di dalam kehidupan yang disebabkan oleh keinginan yang
bajik, yang memunculkan kebahagiaan, berakibat dalam kebahagiaan. Keberhasilan
ini berunsur tiga dalam tindakan fisik, berunsur empat dalam tindakan ucapan
dan berunsur tiga dalam tindakan mental.
Bagaimana
keberhasilan di dalam kehidupan yang disebabkan keinginan bajik ini berunsur
tiga dalam tindakan fisik?
Ada orang
yang tidak menghancurkan kehidupan, dengan kail dan senjata yang
disingkirkan, dia berhati-hati dan baik hati serta berdiam dalam kasih sayang
terhadap semua makhluk.
Dia tidak
mengambil apa yang tidak diberikan kepadanya dan tidak didorong oleh niat
mencuri barang-barang milik orang lain, baik di desa maupun di hutan.
Dia menghentikan
perilaku seksual yang salah dan tidak melakukannya. Dia tidak melakukan
hubungan seks dengan mereka yang berada di bawah perlindungan ayah, ibu … tidak
pula dengan mereka yang bertunangan dengan kalungan bunga di lehernya.
Demikianlah
keberhasilan di dalam kehidupan itu berunsur tiga dalam tindakan fisik.
Dan
bagaimana keberhasilan di dalam kehidupan berunsur empat dalam tindakan ucapan?
Ada orang
yang telah menghentikan ucapan yang tidak benar dan tidak melakukannya.
Ketika dia berada di antara komunitasnya atau di kelompok lain, atau di antara
sanak saudara, teman sekerja, di pengadilan negara, atau ketika dipanggil
sebagai saksi dan diminta mengatakan apa yang diketahuinya, maka bila tahu, dia
akan berkata, “Saya tahu”; dan bila tidak tahu, dia akan berkata, “Saya tidak
tahu”; bila telah melihat, dia akan berkata, “Saya telah melihat”; dan bila
tidak melihat, dia akan berkata, “Saya tidak melihat”. Dia tidak mengucapkan
kebohongan yang disengaja, baik demi dirinya sendiri, demi orang lain, atau
demi keuntungan materi.
Dia telah menghentikan
ucapan yang memecah belah dan tidak melakukannya. Apa yang sudah
didengarnya di sini tidak akan dilaporkannya di tempat lain untuk menimbulkan
konflik di sana; dan apa yang telah didengarnya di sana tidak akan
dilaporkannya di sini untuk menimbulkan konflik di sini. Dengan demikian dia
mempersatukan mereka yang sedang bermusuhan dan mendukung mereka yang bersatu.
Kerukunan membuatnya senang, dia bergembira dan bersukacita dalam kerukunan,
dan dia mengucapkan kata-kata yang menyebabkan kerukunan.
Dia telah menghentikan
ucapan yang kasar dan tidak melakukannya. Kata-katanya lembut, enak
didengar, penuh kasih, menghangatkan hati, sopan, dapat diterima banyak orang,
menyenangkan banyak orang.
Dia telah menghentikan
percakapan yang sia-sia dan tidak melakukannya. Dia berbicara pada saat
yang tepat, sesuai fakta dan tentang hal-hal yang bermanfaat. Dia berbicara
tentang Dhamma dan Vinaya dan berbicara dengan cara yang pantas disimak.
Pembicaraannya bermanfaat, membantu, pantas dan penuh makna.
Demikianlah
keberhasilan di dalam kehidupan ini berunsur empat dalam tindakan ucapan.
Dan
bagaimana keberhasilan di dalam kehidupan berunsur tiga dalam tindakan mental?
Di sini ada
orang yang bebas dari ketamakan; dia tidak iri terhadap kekayaan dan
harta benda orang lain. Dia tidak berpikir, “O, apa yang dia miliki itu
seharusnya kumiliki!”
Dia tidak
memiliki niat jahat di hatinya. Dia memiliki pemikiran dan niat murni,
seperti misalnya: “Semoga makhluk-makhluk ini bebas dari permusuhan, bebas dari
kecemasan! Semoga mereka tidak terganggu dan hidup dengan bahagia!”
Dia memiliki
pandangan benar dan perspektif yang tepat, seperti misalnya: “Ada nilai
moral dalam pemberian, persembahan dan pengorbanan; ada buah atau akibat dari
perbuatan baik atau jahat; ada dunia ini dan sekaligus dunia lain; ada
kewajiban-kewajiban terhadap ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir
kembali secara spontan; ada petapa atau brahmana di dunia ini yang hidup dan
berperilaku benar, yang dapat menjelaskan dunia ini dan dunia selanjutnya,
setelah merealisasikannya melalui pengetahuan langsung mereka.”
Demikianlah
keberhasilan di dalam kehidupan yang disebabkan oleh keinginan yang bajik itu
berunsur tiga dalam tindakan mental.
Keberhasilan
di dalam kehidupan yang berunsur tiga dalam tindakan fisik, berunsur empat
dalam tindakan ucapan dan berunsur tiga dalam tindakan mental, dan yang telah
disebabkan oleh keinginan yang bajik, memunculkan kebahagiaan dan berakibat
dalam kebahagiaan. Disebabkan oleh keberhasilan di dalam kehidupan inilah maka
dengan hancurnya tubuh, setelah kematian, makhluk-makhluk itu akan terlahir
kembali di tempat tujuan yang baik, di alam surga.
Sama seperti
lemparan dadu yang sempurna, ketika dilemparkan ke atas akan terjatuh dengan
mantap di mana pun jatuhnya. Seperti itu pula, karena keberhasilan di dalam
kehidupan yang disebabkan oleh keinginan yang bajik, maka makhluk-makhluk itu
akan terlahir kembali di tempat tujuan yang baik, di alam surga.
Aku
nyatakan, O para bhikkhu, bahwa tindakan-tindakan yang diniati, dilakukan dan
dikumpulkan itu tidak akan padam apabila hasil-hasilnya belum dialami, apakah
di kehidupan ini juga, di kehidupan mendatang atau di kehidupan-kehidupan
berikutnya. Dan selama hasil-hasil dari berbagai tindakan yang diniati,
dilakukan dan dikumpulkan itu belum dialami, tidak akan ada akhir penderitaan,
demikian kunyatakan.
(X, 206)
206. Empat
Keadaan Tanpa Batas
“Aku
nyatakan, para bhikkhu, bahwa tindakan-tindakan yang diniati… (seperti akhir
teks di atas).
‘Tetapi
seorang siswa mulia – tanpa ketamakan, tanpa niat jahat, tidak bingung,
memahami dengan jelas, penuh kewaspadaan – berdiam dengan menyelimuti
seperempat bagian dengan pikiran yang memiliki cinta kasih, demikian pula
bagian yang kedua, ketiga dan keempat. Demikian juga ke atas, ke bawah, ke
seberang dan ke mana pun, dan pada semua makhluk seperti pada dirinya sendiri,
dia berdiam dengan menyelimuti seluruh dunia dengan pikiran yang memiliki cinta
kasih, luas, mulia, tak-terukur, tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat
jahat.”Dia mengetahui: ‘Dulu pikiranku sempit dan tidak berkembang; tetapi
sekarang pikiranku tak-terukur dan telah berkembang dengan baik. Tidak ada
kamma terukur yang akan tersisa di dalamnya, tidak ada yang akan bertahan di
sana.’73
“Bagaimana
pendapatmu, para bhikkhu: jika seorang pemuda, sejak masa kanak-kanak dan
seterusnya, mengembangkan pembebasan pikiran dengan cinta kasih, apakah dia
akan melakukan perbuatan jahat?”
“Tidak,
Bhante.”
“Dan karena
tidak melakukan perbuatan jahat, apakah penderitaan akan menimpanya?”74
“Tidak akan,
Bhante. Bagaimana penderitaan bisa menimpa orang yang tidak melakukan perbuatan
jahat?”
“Benar, para
bhikkhu, pembebasan pikiran oleh cinta kasih harus dikembangkan dengan baik
oleh pria atau wanita. Pria atau wanita tidak dapat membawa tubuhnya pada saat
mereka pergi; makhluk hidup memiliki kesadaran sebagai mata rantai penghubung.’75
“Tetapi seorang
siswa mulia mengetahui: ‘Perbuatan jahat apa pun yang pernah kulakukan dengan
tubuh jasmani ini, hasil-hasilnya akan dialami di sini dan mereka tidak akan
mengikutiku.’76
“Cinta
kasih, jika dikembangkan sedemikian rupa, akan membawa menuju keadaan Yang-Tidak-Kembali-Lagi,
bagi bhikkhu yang telah mantap dalam kebijaksanaan yang terdapat di dalam
Ajaran ini tetapi masih belum menembus pembebasan yang lebih tinggi.”77
“Dia berdiam
dengan menyelimuti seperempat bagian dengan pikiran yang memiliki kasih sayang
… dengan kegembiraan bersimpati … dengan tenang-seimbang, demikian pula bagian
yang kedua, ketiga dan keempat. Demikian juga ke atas, ke bawah, ke seberang
dan ke mana pun, dan pada semua makhluk seperti pada dirinya sendiri, dia
berdiam dengan menyelimuti seluruh dunia dengan pikiran yang memiliki kasih
sayang, kegembiraan bersimpati dan ketenangseimbangan, luas, mulia, tak
terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat.
“Dia
mengetahui: ‘Dulu pikiranku sempit dan tidak berkembang; tetapi sekarang pikiranku
tak-terukur dan telah berkembang dengan baik. Tidak ada kamma terukur yang akan
tersisa di dalamnya, tidak ada yang akan bertahan di sana.’
“Bagaimana
pendapatmu, para bhikkhu: jika seorang pemuda, sejak masa kanak-kanak dan
seterusnya, mengembangkan kasih sayang, kegembiraan bersimpati dan
ketenangseimbangan, apakah dia akan melakukan perbuatan jahat?”
“Tidak,
Bhante.”
“Dan karena
tidak melakukan perbuatan jahat, apakah penderitaan akan menimpanya?”
“Tidak akan,
Bhante. Bagaimana penderitaan bisa menimpa orang yang tidak melakukan perbuatan
jahat?”
“Benar, para
bhikkhu, pembebasan pikiran oleh kasih sayang … oleh kegembiraan bersimpati …
oleh ketenangseimbangan harus dikembangkan dengan baik oleh pria atau wanita.
Pria atau wanita tidak dapat membawa tubuhnya pada saat mereka pergi; makhluk
hidup memiliki kesadaran sebagai mata rantai penghubung.
“Tetapi
seorang siswa mulia mengetahui: ‘Perbuatan jahat apa pun yang pernah kulakukan
dengan tubuh jasmani ini, hasil-hasilnya akan dialami di sini dan mereka tidak
akan mengikutiku”.
“Kasih
sayang, kegembiraan bersimpati dan ketenangseimbangan, jika dikembangkan
sedemikian rupa, akan membawa menuju keadaan Yang-Tidak-Kembali-Lagi, bagi
bhikkhu yang telah mantap dalam kebijaksanaan yang terdapat dalam Ajaran ini
tetapi masih belum menembus pembebasan yang lebih tinggi.
(X, 208)
Catatan
1 Sutta ini sebagian mengulang Teks
128. Lihat Bab VI, no. 26 untuk penjelasan istilah-istilah teknisnya.
2 AA: “Dari ‘pantai sebelah sini’,
dari tiga alam dumadi, ke ‘pantai seberang’, Nibbana.”
3 AA: “Dia tidak mencerap melalui
persepsi yang muncul dengan mengambil tanah sebagai objeknya.” Persepsi tentang
empat elemen ini sesuai dengan jhana, yang kadang-kadang mengambil
elemen-elemen itu sebagai objek (lihat Teks 190 §4). Empat persepsi berikutnya
jelas mengacu pada meditasi tanpa-bentuk. Dua persepsi terakhir dimaksudkan
untuk mencakup semua, untuk menunjukkan bahwa dia telah meninggalkan semua
persepsi keduniawian. Lihat Teks 207, yang menambahkan item kesebelas.
4 Kata “mencerap” (saññi)
menghapus identifikasi keadaan ini dengan berhentinya persepsi dan perasaan (saññavedayita-nirodha).
AA mengidentifikasikan konsentrasi ini dengan konsentrasi pencapaian buah
(tingkat Arahat): “Jika dia menerapkan pikirannya pada (aspek Nibbana) yang
damai, ketika duduk dia mungkin terus bersama pemikiran ‘damai’ itu bahkan
sepanjang hari. Demikian pula dengan (aspek-aspek Nibbana) yang lain. Semua ini
mengacu pada konsentrasi pencapaian buah (phala-samapatti-samadhi).”
5 Bhavanirodho nibbanam.
Biasanya, bhava berarti “eksistensi”, yang bisa menyarankan berhentinya
realitas objektif, dan ini tidak cocok. Yang dimaksudkan adalah berhentinya
dumadi lagi, berhentinya kelahiran kembali, bagi seorang Arahat.
6 Lihat Teks 57; tentang “ketekunan”,
lihat Bab I, no. 16.
7 Mengenai penguasa dunia, lihat Bab
III, no. 1.
8 Penjelasan tentang bacaan ini
terdapat di MN 2. Secara ringkas, dia menggunakan empat kebutuhan (jubah,
makanan, tempat tinggal dan obat-obatan) setelah merenungkannya; dia menanggung
perasaan sakit; dia menghindari bahaya fisik; dia menghalau pemikiran yang
tak-bajik.
9 Ini merupakan “sepuluh pandangan
spekulatif” yang terkenal. Mengenai hal-hal itu Sang Buddha menolak memberikan
pernyataan. Lihat Teks 201 di bawah, dan MN 63, MN 72, SN Bab 44, dll.
10 “Bentukan tubuh” (kaya-sankhara)
adalah pernafasan masuk keluar (lihat MN 44). Ini mereda di jhana keempat.
11 Lihat Teks 56.
12 Dasa Tathagata-balani. AA:
“Ini adalah sepuluh kekuatan yang dimiliki hanya oleh Tathagata, karena Beliau
tidak memiliki persamaan dengan yang lain.” Walaupun para siswa mungkin
memiliki sebagian dari sepuluh kekuatan itu, hanya para Buddha yang memiliki
seluruhnya sekaligus, sempurna dalam setiap hal. Sepuluh kekuatan Tathagata
juga terdapat di MN 12, dan diberikan secara terperinci di Vibh 335-44 (§
809-31) dan AAnya.
13 Brahma-cakkam. AA: “Brahma
di sini berarti terbaik, tertinggi, superior. Brahma-cakka adalah dhamma-cakka,
Roda Kebenaran. Dan ini berunsur dua, yang bergantung pada pengetahuan
penembusan (pativedha-ñana) dan pengetahuan mengajar (desana-ñana).
Pengetahuan penembusan dihasilkan oleh kebijaksanaan dan membawa Sang Tathagata
menuju pencapaian buah mulia Beliau sendiri (ariyaphala); pengetahuan
mengajar dihasilkan oleh kasih sayang yang memungkinkan Sang Tathagata memimpin
makhluk- makhluk lain untuk mencapai buah mulia. Yang disebut pertama adalah
supra-duniawi (lokuttara), sedangkan yang disebut belakangan adalah
duniawi (lokiya). Tetapi dua jenis pengetahuan itu tidak dimiliki oleh
yang lain, karena hanya Yang Sepenuhnya Tercerahkan saja yang memiliki jenis
pengetahuan itu.”
14 Thanañca thanato athanañca
atthanato. AA: “Fenomena itu, yang merupakan penyebab dan kondisi (hetu-paccaya)
bagi munculnya fenomena lain, merupakan ‘penyebab’ (thana); dan fenomena
yang bukan-penyebab dan kondisi bagi kemunculannya adalah ‘bukan penyebab’ (atthana).”
Di Vibh 335-38 (§809), sebagai contoh dari penyebab dan bukan-penyebab,
diberikan berbagai kemungkinan dan ketidakmungkinan yang disebutkan di AN I, xv
(- MN 115).Beberapa di antaranya diterjemahkan di Teks 9.
15 Thanaso hetuso. AA
menjelaskan thana di sini sebagai kondisi-kondisi (paccaya) yang dapat
mengubah hasil dari kamma; sedangkan hetu (kondisi akar) berarti kamma. Di Vibh
338 (§810) dikatakan: “Sang Tathagata memahami demikian: ‘Ada beberapa tindakan
jahat yang dilakukan, yang karena dicegah oleh kelahiran kembali yang beruntung
(gati) … oleh tubuh yang beruntung (upadhi) … oleh waktu yang
beruntung (kala) … oleh usaha yang beruntung (payoga), tidak
menjadi matang; ada beberapa tindakan jahat yang dilakukan, yang karena
kelahiran kembali yang sial … tubuh yang sial … waktu yang sial … usaha yang
sial, menjadi matang.” Perubahan di dalam hasil kamma baik juga diperlakukan
mirip seperti itu.
16 Sabbatthagamini-patipada.
AA: “Di antara banyak orang yang masing-masing telah membunuh satu makhluk
hidup saja, niat kamma satu orang bisa membawanya ke neraka, dan niat kamma
orang lain bisa membuatnya terlahir di dunia binatang. Demikianlah Sang Buddha
secara pasti mengetahoui sifat suatu tindakan, yaitu niat-niat bajik atau
tak-bajik yang muncul pada situasi yang sama (tetapi akan membawa pada tempat
tujuan yang berbeda).”
17 AA: “‘Banyak elemen’, seperti
misalnya elemen mata, dll., elemen sensualitas, dll.; ‘berbeda’ mengacu pada
berbagai sifat dari elemen-elemen itu. Dunia: dunia dari kelompok kehidupan,
landasan indera, elemen-elemen.”
18 Adhimutti. Vibh 339 (§813):
“Ada makhluk-makhluk yang memiliki sifat yang rendah dan makhluk-makhluk yang
memiliki sifat yang tinggi. Mereka yang memiliki sifat yang rendah akan
berhubungan, mendekati dan bergaul dengan makhluk-makhluk yang memiliki sifat
yang rendah (seperti itu juga). Mereka yang memiliki sifat yang tinggi akan
berhubungan, mendekati dan bergaul dengan makhluk-makhluk yang memiliki sifat
yang tinggi (seperti itu juga). Demikianlah yang telah terjadi di masa lampau
dan akan terjadi di masa mendatang.”
19 Indriya-paropariyattam. Vibh
340 (§814): “Sang Tathagata memahami kecenderungan mereka (asaya),
kecenderungan yang mendasarinya (anusaya), kebiasaan (caritta)
dan sifat-sifatnya (adhimutti); Beliau memahami makhluk yang hanya
memiliki sedikit debu di matanya dan yang memiliki banyak debu; yang memiliki
kemampuan spiritual yang tajam (keyakinan, dll.) dan kemampuan yang lemah; yang
bersifat baik dan buruk; yang mudah diajar atau yang sulit diajar; yang mampu
dan yang tidak mampu.”
20 Jhana-vimokkha-samadhi-samapatti.
Empat jhana terdapat di Teks 39, dll.; untuk delapan pembebasan, lihat
Nyanatiloka Thera, Buddhist Dictionary, s.v. vimokkha.
Konsentrasi-konsentrasi itu adalah: dengan pemikiran (vitakka) dan
pemeriksaan (vicara), tanpa pemikiran tetapi dengan pemeriksaan, dan
tanpa keduanya. Sembilan pencapaian meditatif merupakan empat jhana, empat
pencapaian tanpa-bentuk, serta berhentinya persepsi dan perasaan.
Pengetahuan
yang berkenaan dengan, misalnya, kemajuan atau bagian dari jenis-jenis tertentu
“pencapai-jhana” yang disebutkan di Vibh 342-43 (§828): mereka yang, setelah
mencapainya, percaya bahwa mereka telah gagal; mereka yang, setelah gagal,
percaya bahwa mereka telah mencapainya, dll.; mereka yang mencapainya dengan
cepat atau dengan lambat, muncul darinya dengan cepat atau lambat, mencapai
dengan cepat dan muncul darinya dengan cepat atau mencapai dengan lambat dan
muncul darinya dengan lambat, mereka yang memiliki atau tidak memiliki
keterampilan di dalam konsentrasi atau di dalam mempertahankan konsentrasi,
mereka yang memiliki atau tidak memiliki keterampilan di dalam dua hal itu.
21 AA berkata “hal-hal ini” adalah
sepuluh kekuatan Tathagata (lihat teks sebelumnya). Istilah-istilah doktrin (adhivuttipadani)
dijelaskan di AA dan AT sebagai pandangan-pandangan (ditthi) dan
konsep-konsep (paññatti). Sebagai konsep, “istilah-istilah doktrin” ini
dikatakan merupakan ajaran-ajaran tentang kelompok kehidupan, landasan indera
dan elemen-elemen, yang merupakan persamaan dari semua Buddha di masa lampau
dan juga di masa mendatang, karena semua itu merupakan topik utama bagi
penjelasan ajaran dari sudut pandang filsafat.
22 Kasi adalah nama lain untuk
Benares.
23 Viparinama, yaitu kematian
(AA).
24 Agge virajjati; yang
tertinggi di dalam kekuatan dan prestasi duniawi.
25 Lihat Bab IV, no. 54.
22 “Alat-alat kasina” adalah cakram
atau objek-objek yang mirip, yang digunakan sebagai penopang bagi praktek
meditasi ketenangan; lihat Vism Bab IV dan V. Ruang kasina dan kesadaran
kasina, masing-masing merupakan penopang objektif bagi meditasi tanpa-bentuk
yang pertama dan kedua, landasan bagi ketidakterbatasan ruang dan landasan bagi
ketidakterbatasan kesadaran.
27 Abhibhayatana: cara-cara
untuk menguasai meditasi kasina. Di sini teksnya telah diringkas, karena
tahap-tahap perantaranya hanya menjelaskan variasi di dalam bentuk bentuk
objektif yang digunakan meditator agar bisa menguasainya.
28 Untuk analisis, lihat Teks 81.
29 AA: “Persepsi terbatas (paritta)
adalah persepsi tentang lingkup indera, persepsi yang agung (mahaggata)
adalah persepsi tentang lingkup bentuk, persepsi yang tak-terukur (appamana)
adalah persepsi supra-duniawi (tentang empat jalan dan buahnya), sedangkan yang
keempat adalah persepsi tentang landasan ketiadaan (pencapaian tanpa-bentuk
yang ketiga).” Demikian AA, tetapi tampaknya Sang Buddha tidak mungkin
menyatakan persepsi duniawi adalah lebih tinggi daripada persepsi
supra-duniawi. Yang lebih mungkin adalah, persepsi “tak-terukur” mengacu pada
persepsi bentuk-bentuk yang dapat diukur, atau pada tempat kediaman yang agung
(di mana cinta kasih, dll. dipancarkan pada para makhluk yang tak-terukur),
atau pada dua pencapaian tanpa-bentuk pertama (yang mengambil ketidakterbatasan
sebagai objeknya).
30 No c’assam no ca me siya; na
bhavissami, na me bhavissati. Ucapan pendek misterius yang mirip mantra ini
terdapat di sutta-sutta dalam dua bentuk. Di dalam bentuk yang dicatat di sini
ia merupakan ekspresi dari sifat anihilisasi (uccheda-ditthi),
sebagaimana secara eksplisit dipastikan oleh SN 22:81; arti persisnya tetap
belum dapat dipastikan. Dengan sedikit perubahan kata-kata, Sang Buddha
menggunakannya menjadi sistem Beliau sendiri dan menyarankannya sebagai tema
meditasi yang dapat digunakan para bhikkhu untuk menuju tingkat
Tidak-Kembali-Lagi dan bahkan tingkat Arahat. Seperti yang dipakai oleh Sang
Buddha, kata-kata itu berbunyi: No c’assa no ca me siya; na bhavissati na me
bhavissatti, yang mungkin dapat diterjemahkan menjadi: “Tidak mungkin ada
dan tidak mungkin itu milikku; itu tidak akan ada (dan) itu tidak akan menjadi
milikku.” AA menjelaskan: “Seandainya saja tidak ada kekotoran batin dan kamma
di masa lampau, tidak akan ada bagiku sekarang ini lima kelompok kehidupan.
Maka aku pastikan bahwa di masa kini tidak akan ada kekotoran batin dan kamma,
sehingga di masa mendatang tidak akan ada lagi bagiku pembaharuan dari lima
kelompok kehidupan.” Di MN 106, versi Sang Buddha tentang formula itu terjadi
sebagai salah satu perenungan bagi siswa mulia, yang pada jalan ketenangan akan
menuju pada landasan ketiadaan; atau, jika digunakan sebagai tema untuk
pandangan terang, akan memuncak pada tingkat Arahat. Di SN 22:55, Sang Buddha
merekomendasikan meditasi tentang formula itu sebagai cara untuk memotong lima
belenggu bawah (yaitu untuk mencapai tingkat Yang-Tidak-Kembali-Lagi). Di AN
VII, 52, formulanya disebutkan dalam hubungannya dengan lima jenis
Yang-Tidak-Kembali-Lagi dan pencapaian tingkat Arahat.
31 Bhave appatikkulyata … na
bhavissati: harfiah: tidak akan ada tanpa-kejijikan terhadap eksistensi. Bhavanirodhe
patikkulyata .. na bhavissati: harfiah: tidak akan ada kejijikan terhadap
berhentinya eksistensi. Karena anihilasi muncul dari rasa jijik terhadap
eksistensi, para anihilis menyambut berhentinya eksistensi, walaupun biasanya
dia “pergi terlalu jauh” karena salah menafsirkan penghentian itu sebagai
anihilisasi suatu diri yang nyata, seseorang yang ada (lihat It 49).
32 Paramattha-visuddhi. AA:
“Ini adalah tanda untuk landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi.
Landasan ketiadaan merupakan yang tertinggi sebagai landasan untuk pandangan
terang, tetapi landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa persepsi adalah yang
tertinggi dalam jangka waktu kehidupan yang panjang.”
33 Parama-ditthadhamma-nibbanam.
Brahmajala Sutta (DN 1) menyebutkan lima jenis pandangan ini yang dimiliki oleh
petapa non-Buddhis: yang pertama mengidentifikasikan kenikmatan indera sebagai
Nibbana tertinggi di dalam kehidupan ini, sedangkan empat lainnya
mengidentifikasikan empat jhana dengan Nibbana tertinggi.
34 AA menerangkan “pemahaman penuh” (pariñña)
di sini dengan meninggalkan (samatikkama). Pemahaman total tentang (atau
melampaui) kenikmatan indera terjadi pada jhana pertama; tentang bentuk-bentuk
pada pencapaian meditatif tanpa-bentuk; dan tentang perasaan, pada pencapaian
Nibbana. Di sini semua jenis perasaan telah ditinggalkan.
35 Anupada-parinibbanam. AA:
Ini adalah Nibbana terakhir yang bebas dari segala pengkondisian (appaccaya).
AA menjelaskan bahwa Sang Buddha memberikan sutta ini untuk menghalau
ketidakpuasan dari 500 bhikkhu yang sedang merasa tertekan karena kehidupan
selibat. Ketika mendengar hal ini, mereka mengatasi ketidakpuasan itu dan
mencapai tingkat Pemasuk-Arus. Pada kesempatan sesudahnya, setelah lebih
mengembangkan pandangan terang, mereka mencapai tingkat Arahat.
36 Uyyodhika. Mungkin ini
adalah taktik perang di mana raja, secara aktif bergabung dengan salah satu
pihak, yaitu yang menang. Tetapi AA, yang mungkin terpengaruh oleh istilah
“yang menang”, berpendapat bahwa hal itu mengacu pada peperangan aktual dengan
Raja Ajatasattu. Raja Pasenadi melakukan tindakan serupa, memberi hormat kepada
Sang Buddha di MN 89, walaupun alasan-alasan yang diberikan di sana berbeda
dari yang terdapat di sutta ini.
37 Sutta ini merupakan salah satu
bagian standar yang setiap hari selalu diucap-ulang di vihara-vihara Buddhis
Theravada di Asia Selatan dan Tenggara. Ada beberapa hal yang harus dijelaskan:
Merenungkan tentang seseorang yang telah memasuki “kondisi tanpa kelas” memang
sungguh berat di dalam masyarakat yang amat menekankan perbedaan kasta;
memasuki kehidupan tanpa-rumah berarti meninggalkan hak istimewa kasta, dan
bersatu dengan Sangha “sama seperti air dari lima sungai besar bersatu dengan
samudera” (Teks 157 §4). Merenungkan tentang bagaimana orang menghabiskan siang
dan malamnya membuat bhikkhu terhindar dari kemalasan dan kelengahan, dan
perenungan ini berfungsi untuk mengingatkan agar dia menggunakan waktunya untuk
mengembangkan jalan ke Nibbana. Pertanyaan, “Apakah aku senang berada di gubuk
kosong?” menunjukkan perlunya membaktikan upayanya pada meditasi, karena “gubuk
kosong” memang dibuat untuk aktivitas meditasi. Item terakhir berfungsi untuk
mendorong usaha sehingga pada waktu kematian dia mempunyai penghiburan bahwa
kehidupannya sebagai bhikkhu telah memberikan hasil yang baik. “Perbedaan
supra-manusiawi di dalam pengetahuan dan pandangan yang berharga bagi para
suci” di dalam konteks ini adalah pencapaian salah satu tingkat pencerahan;
lihat VI, no. 43.
38 Bandingkan Teks 179 di atas. Bila
pertanyaan-pertanyaan belakangan itu mengacu pada “pemikiran yang bertujuan”,
di sini mereka dimaksudkan untuk “semua hal (yang terkondisi)”. Lihat
penjelasan di Bab IX, no. 11. Beberapa terjemahan yang digunakan di sini
berasal dari terjemahan teks ini oleh Bhikkhu Ñanananda di The Magic of the
Mind.
39 Chandamulaka sabbe dhamma.
Tampaknya, pengertiannya adalah bahwa lima kelompok kehidupan (“segala
sesuatu”) menjadi ada melalui nafsu keinginan dari kehidupan sebelumnya, yang
membuat terjadinya eksistensi sekarang ini.
40 Manasikarasambhava sabbe dhamma.
Dunia objek menjadi ada bagi kesadaran hanya melalui perhatian (manasikara).
41 Karena Tanpa-Kematian dan Nibbana
adalah sinonim, untuk membedakannya di sini AA mengidentifikasikan
“Tanpa-Kematian” dengan elemen Nibbana dengan residu yang tersisa, dan
“Nibbana” dengan elemen-Nibbana dengan tidak ada residu yang tersisa. Lihat Bab
IV, no. 12.
42 Yatha-pabbajja-paricitam,
yang sesuai dengan tujuan dan cita-cita pentahbisan, yaitu pencapaian tingkat
Arahat.
43 Bhavañca vibhavañca:
Terjemahannya mengikuti AA, yang menjelaskan kata-kata ini dengan vuddhi-vinasa
(perkembangan dan penyusutan) dan sampatti-vipatti (keberhasilan dan
kegagalan).
44 Ini mengacu pada muncul dan
terurainya lima kelompok kehidupan.
45 Persepsi tentang ketidakkekalan,
tanpa-diri, kekotoran, bahaya, meninggalkan, tanpa nafsu dan penghentian
dianalisis di dalam Teks 196 di bawah.
46 Selain dari teks ini tidak ada
informasi lagi tentang Y.M. Girimananda. Di negara-negara Buddhis Theravada,
sutta ini mempunyai status khusus sebagai paritta, khotbah pelindung, yang
sering diulang untuk orang yang terkena penyakit serius.
47 Lihat Teks 142 §1.
48 Terjemahan tentang daftar penyakit
yang panjang ini mengikuti Bhikkkhu Ñanamoli (1972).
49 Persepsi ini dan persepsi
selanjutnya merupakan perenungan refleksi tentang Nibbana. Keduanya dibahas di
bawah “perenungan tentang kedamaian”, yang dijelaskan di Vism VIII, 245-51.
50 Lihat Teks 142 §4.
51 Sulit dilihat persisnya bagaimana
penjelasan ini behubungan dengan tema ketidakkekalan. Beberapa menamakan
persepsi ini sabbasankharesu anicchasañña, “persepsi tanpa-keinginan
(atau tanpa-nafsu) sehubungan dengan semua bentukan”, yang mungkin lebih asli.
52 Seluruh sutta (MN 118) dan seluruh
bab di SN (Bab 54) diberikan untuk mengulas subjek meditasi ini. Untuk
penjelasan terperinci menurut metode komentar, lihat Vism VIII, 145-244. Lihat
juga Bhikkkhu Ñanamoli (1982). Mengenai “empat landasan kewaspadaan”, bait
pertama menjelaskan perenungan tentang tubuh; yang kedua perenungan tentang
perasaan; yang ketiga perenungan tentang pikiran; dan yang keempat perenungan
tentang fenomena. Tiga bait pertama dapat dikembangkan dengan cara ketenangan
atau pandangan terang, sedangkan yang keempat sepenuhnya merupakan subjek
meditasi pandangan terang.
53 “Bentukan tubuh” (kaya-sankhara)
adalah nafas itu sendiri, yang menjadi makin tenang sementara konsentrasi makin
dalam.
54 “Bentukan mental” (citta-sankhara)
adalah persepsi dan perasaan.
55 Perenungan tentang meredanya (viraganupassana)
dan tentang berhentinya (nirodhanupassana) merupakan aspek perenungan
tentang ketidakkekalan, yang merupakan indikasi bagi kebijaksanaan yang lebih
dalam tentang terurainya fenomena. Perenungan tentang pelepasan (patinissagganupassana)
dijelaskan sebagai pelepasan kekotoran batin Dan kehidupan-kehidupan mendatang
sebagai konsekuensi dari kebijaksanaan, dan “peluncuran” pikiran ke arah
Nibbana. Lihat Vism VIII, 236.
56 Kebodohan (avijja) adalah
mata rantai pertama di dalam rantai asal mula yang saling bergantungan. Dengan
menunjukkan bahwa kebodohan itu sendiri terkondisi, teks kami mengesampingkan
konsep yang salah bahwa kebodohan adalah Penyebab Pertama yang metafisik;
demikian juga tentang nafsu keinginan, yang menurut Kebenaran Mulia kedua,
merupakan asal mula penderitaan, yang juga bukan merupakan penyebab yang tanpa
sebab. Demikianlah pernyataan-pernyataan serupa tentang kebodohan dibuat
tentang nafsu keinginan di alinea berikutnya. Kebodohan dan nafsu keinginan,
walaupun merupakan kondisi akar yang sangat kuat bagi samsara, tetap
saja merupakan fenomena terkondisi sehingga dapat dihapus; tanpa itu,
pembebasan tidak akan mungkin. Lihat Vism XVII, 36-39.
57 “Makanan pendukung” (ahara)
digunakan di sini dalam pengertian kondisi pendukung yang kuat. Contoh tentang
bagaimana lima penghalang mengkondisikan kebodohan terdapat di Teks 111. Di
situ lima penghalang itu dikatakan membuat orang tidak mengetahui kebaikan
dirinya sendiri dan kebaikan orang-orang lain. Di MN 9, noda-noda (asava)
dinyatakan sebagai faktor-faktor pengkondisi kebodohan, dan di Teks 131 §6
kebodohan dikatakan sebagai kondisi bagi noda-noda. Lihat Bab VI, no. 39.
58 Perilaku yang salah lewat
perbuatan, ucapan dan pikiran.
59 Harfiah: “Ketika hubungan dengan
orang-orang yang tidak baik menjadi penuh, hubungan ini akan mengalir pada
mendengarkan ajaran-ajaran yang salah.” Demikian juga di alinea berikutnya.
Ekspresi “menjadi penuh” berhubungan dengan perumpamaan di alinea berikutnya.
60 Desa Nalaka adalah tempat kelahiran
dan kematian Y.M. Sariputta. Setelah penahbisannya, baru satu kali beliau
mengunjungi desa kelahirannya itu untuk meninggal dunia di sana, jadi dialog
ini pasti terjadi pada waktu itu.
61 Ini adalah tiga kekotoran pertama,
yang ditinggalkan oleh jalan Pemasuk-Arus.
62 Vajjiyamahita adalah salah satu
siswa awam yang dikatakan di AN VI, 131: “Dia telah menjadi yakin terhadap Yang
Terberkahi, telah melihat Tanpa-Kematian, dan hidup setelah merealisasikan
Tanpa-Kematian.” Menurut AA, ini mengacu pada tingkat seorang yang berlatih (sekha),
bukan Arahat, seperti yang dikatakan oleh beberapa penafsir bacaan itu.
63 Vibhajjavadi bhagava, na so
bhagava ettha ekamsavadi. Di kemudian hari, Ajaran Sang Buddha, seperti
yang didokumentasikan di Tipitaka Pali dan diturunkan oleh mazhab Theravada,
disebut Vibhajjavada, yaitu doktrin yang membedakan dan bersifat diskriminatif,
yang berbeda dengan doktrin satu sisi (ekamsa) yang menggeneralisasikan.
Ungkapan ini mungkin berasal dari sutta ini.
64 Kata venayiko, yang disini
diterjemahkan “nihilis”, secara harfiah berarti “orang yang tersesat”; kata ini
tampaknya telah digunakan oleh para brahmana untuk mencela Sang Buddha yang
telah menolak otoritas Kitab Veda. Di situ dinyatakan absahnya pembagian kasta
dan ide diri yang kekal. AA menjelaskan appaññattiko dengan “tidak
membuat pernyataan pasti”: (Tuduhannya adalah) Sang Buddha membuat pernyataan
tentang Nibbana yang tidak dapat diketahui (apaccakkha), tetapi tidak
dapat menyatakan apa pun (yang pasti) tentang (keberadaan dunia) diciptakan
sendiri (atau diciptakan oleh yang lain), dsb.” Mengenai hal ini, lihat Teks
201.
65 Niyati: harfiah, “akan
dibawa keluar”, yaitu dari samsara, dunia penderitaan.
66 AA: “Yang Terberkahi tetap diam
karena pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang tidak bisa diterima, karena
berdasar atas pandangan salah tentang diri.
67 Pertanyaan-pertanyaan Uttiya
tentang kekekalan dunia, dll., demikian juga pertanyaan selanjutnya tentang
keselamatan seluruh dunia, keduanya masuk ke dalam kelompok pertanyaan yang
“harus dikesampingkan” (thapaniya), karena pertanyaan-pertanyaan itu
berlandaskan pada jelmaan substansi yang tidak ada, entah dalam konsep “dunia” yang
digeneralisasikan, atau pengertian tentang diri yang hidup.
68 Ini merupakan delapan faktor Jalan
Mulia Berunsur Delapan, yang ditingkatkan oleh buah, pengetahuan benar dan
pembebasan benar. “Guru Tertinggi” (sugata) adalah Sang Buddha.
Serangkaian sutta ini harus disatukan dengan pengertian bahwa toleransi Buddhis
tradisional berarti bahwa Buddhisme menganggap semua agama itu sama-sama sarana
yang dapat digunakan untuk menuju pembebasan. Menurut Sang Buddha, sistem
spiritual lain mungkin mengajarkan praktek-praktek kebajikan yang bisa
menyebabkan kelahiran ulang yang baik, tetapi jalan menuju pembebasan akhir –
Nibbana, yaitu terbebas dari seluruh lingkaran kelahiran ulang hanya tersedia
melalui Ajaran Beliau.
69 Sepuluh item ini adalah sepuluh
ajaran tentang tindakan yang tak-bajik (akusala-kammapatha), yang
dijelaskan secara terperinci di Teks 205. Teks ini menyatakan bahwa sepuluh hal
ini dapat dimotivasi oleh yang mana pun dari tiga akar ketidakbajikan, namun
kitab-kitab komentar menghubungkan beberapa tindakan tak-bajik tertentu dengan
akar-akar tak-bajik tertentu, misalnya kebencian dengan penghancuran kehidupan
dan ucapan yang kasar, sedangkan ketamakan dengan pencurian dan perilaku seks
yang salah, dll.
70 Mengenai matangnya kamma yang
berunsur tiga, lihat Teks 24 dan Bab III, no. 13. Pernyataan Sang Buddha –
bahwa tidak ada penderitaan yang berakhir tanpa mengalami hasil-hasil dari
semua tindakan yang sudah dilakukan – harus dipahami dengan syarat (yang
diperjelas oleh AA sehubungan dengan “kamma yang matang di kehidupan-kehidupan
mendatang) bahwa acuannya adalah pada “kamma yang sebenarnya mampu memberikan
hasil kamma” (vipakarahakamma). Tetapi dalam situasi tertentu, kamma
dapat dianulir oleh kamma penghancur atau yang berlawanan. Dan Arahat, dengan
menghentikan kondisi-kondisi bagi kelahiran kembali, memadamkan potensi
matangnya semua kamma lampaunya. Pernyataan di teks kami harus juga dipahami
dalam pengertian sutta berikutnya: “Seandainya dikatakan bahwa dengan cara apa
pun orang melakukan suatu tindakan kamma, maka dengan cara yang persis sama
pula dia akan mengalami hasilnya – maka tidak akan ada (kemungkinan bagi)
kehidupan suci, dan tidak akan ada kemungkinan yang muncul untuk mengakhiri
penderitaan secara total. Tetapi seandainya dikatakan bahwa orang – yang
melakukan suatu tindakan kamma (dengan hasil) yang bisa dialami secara
berbeda-beda – akan menuai hasilnya sesuai dengan itu – maka akan ada
(kemungkinan bagi) kehidupan suci, dan akan ada kemungkinan yang muncul untuk
mengakhiri penderitaan secara total” (AN III, 110).
71 Empat yang terakhir masing-masing
mengacu pada: (i) wanita yang dilindungi oleh umat agamanya; (ii) wanita yang
pada waktu lahir atau di masa kanak-kanak telah dijanjikan untuk dijodohkan;
(iii) wanita yang dilarang mengadakan hubungan seks oleh penguasa (mungkin
tawanan wanita?); dan (iv) gadis yang diberi kalungan bunga oleh seorang
laki-laki sebagai tanda pertunangan.
72 Komentar untuk MN 41: “Bagi mereka
yang hidup di dunia ini, tidak ada lagi dunia lain (yang akan dituju setelah
kematian); dan untuk mereka yang hidup di dunia lain, tidak ada dunia ini (yang
akan dituju setelah kematian).” Tetapi mungkin maksudnya adalah tidak ada lagi
kelahiran kembali di dunia ini atau di dunia lain. Pada penafsirannya,
pandangan itu mempertahankan bahwa para makhluk musnah pada waktu kematian.
73 Pamanakatam kammam: AA: =
kamma yang termasuk lingkup-indera (kamavacara-kamma). Maksudnya, jika
seseorang mencapai dan menguasai “pembebasan pikiran oleh cinta-kasih” pada
tingkat jhana, maka potensi kamma dari pencapaian jhana ini akan menggeser
kamma lingkup-indera dan akan menyebabkan kelahiran kembali di alam bentuk.
74 Yaitu, penderitaan yang merupakan
akibat dari kamma tak-bajik sebelumnya.
75 Cittantara. AA memberikan
dua penjelasan: (i) dengan mengambil antara yang berarti penyebab,
“Dengan kesadaran (kamma) sebagai penyebab, seseorang akan menjadi makhluk dewa
atau makhluk neraka”; (2) dengan mengambil antara yang berarti
perantara, “Di deretan yang paling dekat dengan kesadaran-kematian, pada momen
kedua, yaitu kesadaran-kelahiran-kembali, orang akan menjadi makhluk dewa,
makhluk neraka atau binatang.”
76 AA: “Itu akan merupakan pematangan
kamma dalam kehidupan ini (dittha-dhamma-vedaniya-kamma). Mereka tidak
akan mengikuti makhluk ke kehidupan berikutnya, karena pematangan dalam
kehidupan berikutnya (upapajja-vedaniya) telah terpotong lewat praktek
cinta-kasih. Bacaan ini harus dipahami sebagai refleksi yang dilakukan oleh
seorang Pemasuk-Arus atau Yang-Kembali-Sekali-Lagi.”
77 “Yang-Tidak-Kembali-Lagi” (anagamita),
menurut AA, mengacu kepada pencapaian Yang-Tidak-Kembali-Lagi berdasarkan pada
jhana yang diperoleh melalui meditasi cinta-kasih. Begitu juga dalam kasus brahma-vihara
lainnya.
AA
menjelaskan idha-paññasa bhikkhuno (harfiah: “bhikkhu
kebijaksanaan-di-sini”) sebagai bhikkhu dengan kebijaksanaan yang ditemukan di
sini, di dalam Ajaran ini (imasmim sasane), yang dimiliki oleh siswa
agung yang mantap dalam kebijaksanaan agung mengenai kehidupan yang sejalan
dengan Ajaran itu, tetapi “yang belum menembus pembebasan yang lebih tinggi”,
yaitu menuju tingkat Arahat.
0 komentar:
Posting Komentar